Menteri Ketenagakerjaan (“Menaker”) telah menerbitkan peraturan No. 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”).
Permenaker 6/2016 mengatur ulang ketentuan Tunjangan Hari Raya (“THR”) Keagamaan yang meliputi: pembayaran THR Keagamaan oleh pengusaha, besaran THR Keagamaan, dan sanksi terhadap pelanggaran. Sebelumnya, hal ini diatur dalam Peraturan Menaker No. PER.04/MEN/1994 (“Permenaker 1994”).
Permenaker 6/2016 ditujukan untuk pengusaha dan tenaga kerja domestik maupun asing, baik berupa orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, serta masyarakat umum.
Kewajiban Pemberian THR Keagamaan
Permenaker 6/2016 mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit satu bulan, tanpa memandang apakah pekerja/buruh yang bersangkutan dipekerjakan secara tetap atau hanya sementara. THR Keagamaan diberikan satu kali dalam satu tahun selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan tertentu (secara bersama-sama disebut sebagai “Hari Raya Keagamaan”) berikut ini:[1]
a. Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja/buruh yang beragama Islam;
b. Hari Raya Natal bagi pekerja/buruh yang beragama Kristen Protestan dan Kristen Katolik;
c. Hari Raya Nyepi bagi pekerja/buruh yang beragama Hindu;
d. Hari Raya Waisak bagi pekerja/buruh yang beragama Budha; dan
e. Hari Raya Imlek bagi pekerja/buruh yang beragama Konghucu.
Jangka waktu pembayaran THR Keagamaan yang dijabarkan di atas dapat dikecualikan apabila ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2]
Patut dicatat bahwa pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut yang belum menerima THR Keagamaan dari perusahaan yang lama berhak atas THR Keagamaan dari perusahaan yang baru. Selain itu, pekerja/buruh tetap yang mengalami pemutusan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan masing-masing juga berhak atas THR Keagamaan.
Sebelumnya, kewajiban ini hanya berlaku untuk pekerja/buruh dengan masa kerja tiga bulan atau lebih.[3] Selain itu, Permenaker 1994 tidak mengakui Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Keagamaan.[4]
Besaran THR Keagamaan
THR Keagamaan diberikan dalam bentuk uang berupa mata uang Rupiah.[5] Besaran THR Keagamaan sendiri berbeda-beda sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh yang menerimanya, sebagaimana dijabarkan dalam tabel berikut:[6]
Permenaker 6/2016 mengatur ulang ketentuan Tunjangan Hari Raya (“THR”) Keagamaan yang meliputi: pembayaran THR Keagamaan oleh pengusaha, besaran THR Keagamaan, dan sanksi terhadap pelanggaran. Sebelumnya, hal ini diatur dalam Peraturan Menaker No. PER.04/MEN/1994 (“Permenaker 1994”).
Permenaker 6/2016 ditujukan untuk pengusaha dan tenaga kerja domestik maupun asing, baik berupa orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, serta masyarakat umum.
Kewajiban Pemberian THR Keagamaan
Permenaker 6/2016 mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit satu bulan, tanpa memandang apakah pekerja/buruh yang bersangkutan dipekerjakan secara tetap atau hanya sementara. THR Keagamaan diberikan satu kali dalam satu tahun selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan tertentu (secara bersama-sama disebut sebagai “Hari Raya Keagamaan”) berikut ini:[1]
a. Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja/buruh yang beragama Islam;
b. Hari Raya Natal bagi pekerja/buruh yang beragama Kristen Protestan dan Kristen Katolik;
c. Hari Raya Nyepi bagi pekerja/buruh yang beragama Hindu;
d. Hari Raya Waisak bagi pekerja/buruh yang beragama Budha; dan
e. Hari Raya Imlek bagi pekerja/buruh yang beragama Konghucu.
Jangka waktu pembayaran THR Keagamaan yang dijabarkan di atas dapat dikecualikan apabila ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2]
Patut dicatat bahwa pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut yang belum menerima THR Keagamaan dari perusahaan yang lama berhak atas THR Keagamaan dari perusahaan yang baru. Selain itu, pekerja/buruh tetap yang mengalami pemutusan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan masing-masing juga berhak atas THR Keagamaan.
Sebelumnya, kewajiban ini hanya berlaku untuk pekerja/buruh dengan masa kerja tiga bulan atau lebih.[3] Selain itu, Permenaker 1994 tidak mengakui Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Keagamaan.[4]
Besaran THR Keagamaan
THR Keagamaan diberikan dalam bentuk uang berupa mata uang Rupiah.[5] Besaran THR Keagamaan sendiri berbeda-beda sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh yang menerimanya, sebagaimana dijabarkan dalam tabel berikut:[6]
Masa Kerja | Besaran THR[7] |
12 bulan secara terus menerus atau lebih | Setara satu bulan upah pekerja/buruh yang bersangkutan |
1 sampai 12 bulan | (masa kerja /12) x satu bulan upah |
Sementara itu, besaran upah yang dipergunakan untuk menentukan besaran THR Keagamaan untuk pekerja lepas atau pekerja harian ditetapkan sebagai berikut:[8]
Masa Kerja | Penghitungan THR Keagamaan |
12 bulan secara terus menerus atau lebih | Rata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan |
Kurang dari 12 bulan | Rata-rata upah yang diterima setiap bulan selama masa kerja |
Formula penghitungan yang dijabarkan di atas dapat dikecualikan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan oleh pengusaha tersebut. Dalam hal ini, pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan yang lebih besar dari formula penghitungan di atas.[9]
Terdapat tiga perbedaan utama antara Permenaker 6/2016 dengan Permenaker 1994 terkait pemberian THR Keagamaan. Pertama, Permenaker 1994 menyatakan bahwa THR Keagamaan dapat diberikan dalam bentuk lain selain uang, sepanjang tidak melebihi 25% dari total THR Keagamaan yang harus dibayarkan.[10] Kedua, pengusaha yang belum sanggup memenuhi kewajiban pemberian THR Keagamaan dapat mengajukan permohonan pengecualian pembayaran THR Keagamaan kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.[11] Ketiga, Permenaker 1994 tidak memuat ketentuan tentang penghitungan upah untuk pekerja lepas.
Sanksi
Pengusaha yang tidak melaksanakan kewajiban pembayaran THR Keagamaan secara tepat waktu akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR Keagamaan yang harus dibayarkan, serta sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan. Patut dicatat bahwa pengenaan sanksi tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh.[12]
Permenaker 6/2016 mencabut dan menggantikan Permenaker 1994.
Permenaker 6/2016 berlaku sejak tanggal 8 Maret 2016.
Link Download Permenaker 6/2016:
[1]Pasal 1 (2), Permenaker 6/2016.
[2]Pasal 5 (3), Permenaker 6/2016.
[3]Pasal 2, Permenaker 1994.
[4]Pasal 1, huruf e, Permenaker 1994.
[5]Pasal 6, Permenaker 1994.
[6]Pasal 2 dan Pasal 3 (1), Permenaker 6/2016.
[7]Upah bulanan yang ditetapkan di atas dapat berupa upah bulanan sebelum atau sesudah ditambah tunjangan-tunjangan lain (tergantung metode yang dipilih pengusaha).
[8]Pasal 3 (2) dan (3), Permenaker 6/2016.
[9]Pasal 4, Permenaker 6/2016.
[10]Pasal 5, Permenaker 6/2016.
[11]Pasal 7, Permenaker 1994.
[12]Pasal 10 dan Pasal 11, Permenaker 6/2016
No comments:
Post a Comment