#hukum_indah


“... Studies of Law is not always could be in theory ...
because the Law is essentially the logic ....
And the law isn't a rote course only ....

Translate

April 19, 2016

#hukum_indah : Prosedur Baru Penyelesaian Kasus Pertanahan

Prosedur Baru Penyelesaian Kasus Pertanahan
   
   sumber: hukumonline.com


Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”) telah menerbitkan Peraturan No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Peraturan 2016”).

Peraturan 2016 bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pertanahan oleh kantor pertanahan tingkat daerah/pusat (“Kantor Pertanahan”). Sebelum terbitnya Peraturan 2016, persoalan yang sama diatur dalam dua peraturan yang terpisah, yaitu:

1.     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan(“Peraturan 2011”); dan
2.     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 12 tahun 2013tentang Eksaminasi Pertanahan (“Peraturan 2013”) (secara bersama-sama disebut sebagai “Peraturan Terdahulu”).

Peraturan 2016 ditujukan untuk masyarakat secara umum sebagai pemegang hak atas tanah.

Jenis Kasus Pertanahan

Peraturan 2016 menggolongkan kasus pertanahan ke dalam tiga kategori berikut:
[1]

a.     Sengketa Tanah, yaitu perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas terhadap masyarakat;
b.     Konflik Tanah, yaitu perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas; dan
c.     Kasus Tanah, yaitu perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.

Secara umum, sebagian besar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan 2016 mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa tanah [sebagaimana didefinisikan dalam huruf (a) di atas] dan konflik tanah [sebagaimana didefinisikan dalam huruf (b) di atas] oleh Kantor Pertanahan. Sedangkan prosedur penyelesaian perkara tanah melalui lembaga peradilan menggunakan hukum acara perdata biasa.

Peraturan 2016 tidak memuat perubahan yang signifikan dibandingkan jenis kasus pertanahan yang diatur dalam Peraturan 2011.

Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kantor Pertanahan dapat menggunakan dua mekanisme berikut untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dan kasus pertanahan: a) melalui proses pengawasan mandiri yang dilakukan atas inisiatif Kantor Pertanahan –  pengawasan aktif; atau b) pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat kepada Kantor Pertanahan  –  pengawasan pasif.
[2]

Setiap anggota masyarakat dapat menyampaikan laporan tertulis kepada Kantor Pertanahan melalui kotak surat, situs resmi Menteri, atau Kantor Wilayah Pertanahan yang membawahi lokasi tempat tanah yang disengketakan berada. Laporan tersebut harus dilampiri dengan uraian singkat kasus, fotokopi identitas pengadu, fotokopi surat kuasa (jika ada), dan bukti-bukti pendukung.
[3]Setelah menerima laporan yang lengkap, Kantor Pertanahan kemudian memberikan surat tanda penerimaan pengaduan kepada pengadu. Laporan tersebut kemudian diadministrasikan ke dalam Register Penerimaan Pengaduan Kantor Pertanahan.[4]

Pejabat yang bertanggung jawab di Kantor Pertanahan (“Pejabat”) kemudian harus melakukan pengumpulan data dan informasi mengenai tanah yang bersangkutan. Data tersebut dapat berupa lokasi, data fisik (ukuran), dan data yuridis; putusan peradilan atau dokumen lainnya yang terkait dan dikeluarkan oleh lembaga penegak hukum; data yang dikeluarkan/diterbitkan oleh pejabat yang berwenang; keterangan saksi; dan/atau data pendukung lainnya.
[5]

Berdasarkan data dan informasi tersebut, Pejabat akan melakukan analisis apakah pengaduan atas kasus pertanahan tersebut merupakan kewenangan Menteri atau merupakan kewenangan instansi lain.
[6] Pejabat hanya melakukan tindakan lebih lanjut jika kasus pertanahan terjadi akibat salah satu dari 11 faktor yang tercantum dalam Pasal 11 (3) Peraturan 2016, antara lain:

a.     Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran atau pemetaan tanah yang bersangkutan;
b.     Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
c.     Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran atau penetapan hak tanah;
d.     Tumpang tindih status hak atas tanah;
e.     Penyalahgunaan pemanfaatan ruang;
f.      Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan; dan seterusnya.

Apabila kasus pertanahan yang diadukan bukan disebabkan oleh salah satu faktor di atas, maka Pejabat akan menyampaikan penjelasan tertulis kepada pihak pengadu bahwa kasus tersebut bukan merupakan kewenangan Menteri.
[7] Namun, apabila kasus tersebut disebabkan oleh salah satu faktor di atas, maka Pejabat melaporkan hal tersebut kepada lembaga-lembaga berikut:[8]

a.     Kepala Kantor Wilayah Pertanahan yang membawahi lokasi tempat tanah tersebut berada, jika status hak atas tanah yang bersangkutan diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
b.     Menteri, jika kriteria-kriteria berikut terpenuhi:
-       Status hak atas tanah diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Pertanahan; dan/atau
-       Sengketa pertanahan atau konflik pertanahan telah menjadi perhatian masyarakat; melibatkan banyak pihak; berhubungan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi, atau kepentingan umum, pertahanan atau keamanan; dan/atau melibatkan instansi pemerintah atau penegak hukum.

Setelah menerima informasi yang relevan dari Pejabat, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri memerintahkan seorang pejabat yang bertanggung jawab (“Pejabat yang Bertanggung Jawab”) untuk menindaklanjuti proses penyelesaian kasus pertanahan tersebut. Di samping itu, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri juga dapat membentuk Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan (“Tim”) paling lama tujuh hari setelah menerima informasi tersebut.
[9]

Pejabat yang Berwenang atau Tim kemudian wajib membuat laporan penyelesaian kasus pertanahan yang memuat rangkuman hasil kegiatan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan tersebut. Laporan ini paling sedikit memuat: pengaduan dari masyarakat, pengumpulan data dan inforomasi yang terkait, analisa kasus, hasil pemeriksaan lapangan, dan hasil paparan (jika ada). Laporan ini kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri.
[10]

Setelah menerima laporan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri menyelesaikan sengketa atau konflik pertanahan degnan menerbitkan keputusan yang menyatakan salah satu hal berikut:
[11]

a.     Pembatalan hak atas tanah;
b.     Pembatalan sertifikat;
c.     Perubahan data pada sertifikat, surat ukur, dan atau dokumen lainnya; atau
d.     Pemberitahuan bahwa seluruh proses administrasi tanah yang disengketakan telah memenuhi seluruh prosedur yang berlaku.

Patut dicatat bahwa keputusan tersebut wajib diterbitkan paling lama 14 hari kerja setelah Menteri menerima laporan, atau tujuh hari setelah Kepala Kantor Wilayah Pertanahan menerima laporan.
[12]

Sebelumnya, Peraturan tidak mengatur tentang pengawasan aktif untuk memeriksa kasus pertanahan. Selain itu, Peraturan 2011 mewajibkan Kantor Pertanahan untuk menyelenggarakan gelar kasus dalam menyelesaikan kasus pertanahan.
[13] Sayangnya, tahap ini tidak lagi diatur dalam Peraturan 2016.

Peraturan 2016 mencabut dan menggantikan Peraturan Terdahulu.

Peraturan 2016 diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2016
.


Ini link peraturannya :


[1]Pasal 1 (1) – (4), Peraturan 2016.
[2]Pasal 4, Peraturan 2016.
[3]Pasal 6 (4) (5), Peraturan 2016.
[4]Pasal 7 (3) dan 8 (1), Peraturan 2016.
[5]Pasal 10 (1) (2), Peraturan 2016.
[6]Pasal 11 (1) (2), Peraturan 2016.
[7]Pasal 11 (4) dan 12 (2), Peraturan 2016.
[8]Pasal 13, Peraturan 2016.
[9]Pasal 14 (1) (2), Peraturan 2016.
[10]Pasal 23, Peraturan 2016.
[11]Pasal 24 (1), Peraturan 2016.
[12]Pasal 24 (5), Peraturan 2016.
[13]Pasal 27 (1), Peraturan 2011.

No comments:

Post a Comment