Kronologis :
Kompol Arafat diduga bermain dalam penanganan mafia pajak dengan tersangka Gayus Halomoan Tambunan. Kompol Arafat diduga mendapatkan imbalan berupa sepeda motor Harley Davidson Ultra Classic yang ditaksir senilai Rp400 juta.
Kompol Arafat diduga ikut dalam pertemuan untuk merekaya rekening dalam tabungan Gayus di Hotel Sultan dan Kartika Candra. Pertemuan itu juga dihadiri Gayus, Andi Kosasih, Haposan Hutagalung, Lambertus, AKP Sri Sumartini. Dalam pertemuan tersebut dibahas teknis rekayasa uang sebesar Rp28 miliar. Komisaris Polisi Arafat Enanie bersikukuh tidak bersalah. Dia meminta majelis hakim memvonis bebas, karena menilai jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya.
"Meminta majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari semua tuntutan. Bila ada pertimbangan lain, mohon dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya," kata Edward Maruli Simanjuntak, salah satu pengacara Kompol Arafat yang membacakan 127 halaman pledoi (pembelaan) secara bergantian di PN Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Selasa (14/9/2010).
Sejumlah dakwaan yang disanggah antara lain pemberian suap motor gede Harley Davidson, uang tunai dalam jumlah bervariasi dari Rp 1,5 juta hingga Rp 95 juta. Suap itu diterima supaya kasus Gayus Tambunan dan blokir rekening Gayus dibuka.
"Motor itu titipan Alif Kuncoro karena dia sedang ada masalah keluarga. Untuk uang itu, tidak ada satu pun saksi menyaksikan pemberian seperti didakwakan jaksa. Sementara jabatan terdakwa tidak berwenang untuk membuka blokir rekening Gayus Halomoan Tambunan," imbuh tim pengacara.
Atas pembelaan itu, Kompol Arafat optimis bebas dari tuntutan 4 tahun penjara.
"BAP tidak benar semua. Jaksa merekayasa BAP saya. Insya Allah saya bebas. Memang sudah terciptakan opini saya salah. DPR Komisi III saja mengatakan saya ini perkara kecil," kelit Arafat usai sidang.
di sisi lain Jaksa Penuntut Umum (JPU) Asep N. Mulyana bersikukuh bahwa berita acara pemeriksaan (BAP) dapat dijadikan sebagai dasar menyatakan terdakwa Komisaris Polisi (Kompol) M. Arafat Enanie bersalah sebagaimana yang didakwakan.
Asep mengatakan bahwa sesuai dengan apa yang disampaikan pada surat tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) secara jelas telah diuraikan kedudukan BAP yang dibuat oleh Badan Reserse Kriminal Direktorat III Korupsi.
"BAP sebagai alat bukti surat tetap dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian karena telah dibuat berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku,"katanya dalam pembacaan replik atas nota keberatan (pledoi) M. Arafat Enanie, sore ini.
Menurut dia, hukum acara pidana mendudukkan BAP saksi yang dibuat penyidik di bawah sumpah merupakan suatu alat bukti sesuai dengan pasal 187 KUHAP huruf a.
Artinya, lanjutnya keterangan saksi di persidangan tidak mempengaruhi kedudukan BAP saksi sebagai alat bukti surat.
Selain itu, ujarnya, ada pendapat hukum yang mengatakan bahwa BAP saksi dan BAP terdakwa yang dibuat di hadapan penyidik telah dibuat berdasarkan tata cara dan prosedur yang telah ditentukan oleh hukum acara pidana.
Pernyataan JPU Asep tersebut menjawab pernyataan terdakwa Arafat yang mengatakan bahwa BAP tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Pendapat Penasehat Hukum: Ketua Tim Penasehat Hukum Arafat, membeberkan beberapa sesat pikir yang digunakan oleh jaksa penuntut umum dalam tuntutannya. Salah satunya adalah penafsiran jaksa penuntut umum yang menganggap berita acara pemeriksaan (BAP) saksi ditingkat penyidikan adalah alat bukti surat.
"Kami tak mengerti dengan penafsiran jaksa penuntut umum itu," ujarnya, Selasa (14/9). Edward mengatakan JPU telah keliru menafsirkan Pasal 187 huruf a KUHAP dengan menyebut BAP yang dibuat oleh penyidik adalah alat bukti surat. Ia mengatakan dalam pasal itu hanya disebutkan 'berita acara', bukan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik.
Edward mengungkapkan makna 'berita acara' yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf a itu berbeda dengan BAP keterangan saksi yang dibuat oleh penyidik. Dalam buku 'Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP' karya M Yahya Harahap, lanjutnya, dijelaskan secara gamblang apa yang dimaksud 'berita acara' dalam Pasal 187 huruf a itu.
"Syarat sebuah berita acara adalah dibuat pejabat umum yang berwenang. Isinya harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami pejabat itu sendiri. Lalu, harus disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu," ujarnya mengutip buku yang kerap dijadikan rujukan dalam perkara pidana itu.
Artinya, BAP yang dibuat penyidik tidak masuk kategori tersebut. Pasalnya, BAP dibuat berdasarkan keterangan saksi atau terdakwa. Bukan, berdasarkan apa yang didengar, dilihat atau yang dialami oleh penyidik secara langsung. "Penafsiran JPU ini jelas-jelas keliru," ujar Edward.
Sebagai informasi, alat bukti yang 'diakui' dalam ranah hukum pidana ada lima macam. Yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk menjerat seseorang ke ranah hukum pidana, penyidik atau jaksa penuntut umum harus memiliki dua alat bukti yang disebut di atas tersebut.
Edward menduga pemaksaan BAP sebagai alat bukti surat ini karena JPU sudah kehabisan akal menemukan alat bukti untuk menjerat kliennya. Pasalnya, dalam hukum pidana dikenal adagium 'unus testis nullus testis', yakni keterangan satu saksi tak bisa dijadikan alat bukti (karena minimal harus ada dua alat bukti).
Bila penafsiran JPU ini diterima oleh majelis, jelas Edward, maka adagium unus testis nullus testis menjadi tidak lagi berarti. Karena JPU akan dengan mudah menemukan dua alat bukti sebagai syarat minimal.
Kesimpulan saya :
BAP sebaiknya tidak diterima sebagai alat bukti tertulis, karena BAP adalah alat menuju kepada suatu pembuktian dan keberatan berdasarkan hukum, yang pada akhirnya akan bermuara kepada suatu Putusan Majelis Hakim. Jika BAP dianggap = bukti tertulis, ini sangat rancu, karena bisa saja BAP itu tidak menghasilkan putusan. Sedang Putusan Majelis Hakim barulah bisa dianggap sebagai Bukti.
No comments:
Post a Comment