#hukum_indah


“... Studies of Law is not always could be in theory ...
because the Law is essentially the logic ....
And the law isn't a rote course only ....

Translate

October 30, 2012

JANGAN TAKUT PADA DEBT COLLECTOR - #HUKUM_INDAH

Dalam perjanjian jual beli, jual beli, dianggap telah terjadi antara penjual dan pembeli seketika penjual dan pembeli mencapai kesepakatan mengenai harga dan barangnya, meskipun benda tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - “KUHPer”). Seringkali ketika kita membeli secara kredit atau angsuran terhadap benda bergerak maupun bergerak, pada saat di pertengahan jalan, angsuran seringkali macet karena biaya yang kurang dan kita sering menjual kembali benda yang belum lunas tersebut. akan tetapi sering kali penjual/kreditur bertindak semena-mena dengan ancaman ingin memidanakan kita.


Oleh karena pasal 1458 itu, kita tidak dapat diperkarakan secara pidana atas dasar menjual barang bergerak (mobil, motor, laptop, kartu kredit) kita yang belum lunas angsurannya. Hal ini karena benda bergerak itu telah menjadi milik Anda setelah jual beli telah berlangsung dan pemindahan hak milik atas benda bergerak telah diberikan kepada Anda (berdasarkan Pasal 612 KUHPer, pemindahan hak milik benda bergerak cukup dengan penyerahan secara nyata atas laptop tersebut).
 
Akan tetapi, dalam hal ini Anda dapat digugat secara perdata oleh pihak penjual atau kreditur karena dalam perjanjian jual beli, kedua belah pihak mempunyai prestasi masing-masing yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, penjual telah melakukan prestasinya memberikan benda bergerak tersebut kepada Anda, dan Anda belum melakukan prestasi Anda sepenuhnya sehingga Anda dapat digugat atas dasar wanprestasi (Pasal 1243 KUHPer).
 
Namun, dalam hal gugatan wanprestasi ini, sebelum mengajukan gugatan, pihak penjual/kreditur harus terlebih dahulu melayangkan somasi untuk menjadi peringatan bagi Anda untuk memenuhi prestasi Anda melunasi uang pembayaran laptop (Pasal 1238 KUHPer). Jika somasi atau peringatan itu tidak Anda hiraukan, maka Anda dapat digugat karena tidak melakukan kewajiban Anda sesuai dengan yang diperjanjikan.
 
Jadi, Kita tidak dapat dituntut secara pidana karena belum bisa melunasi sisa tunggakan utang Anda, tetapi pihak penjual dapat menuntut Anda secara perdata atas dasar wanprestasi tersebut.
 
Sedangkan, mengenai penagih utang atau debt collector yang mengancam Anda, apabila debt collector tersebut dalam menagih utang kepada Anda menggunakan kekerasan atau dengan mengancam, Anda dapat menuntut debt collector tersebut atas dasar perbuatan tidak menyenangkan yang diatur Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
 
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp.4500 barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
 
Dalam hal ini perlu pula diketahui bahwa umumnya pihak debt collector masih membuka kemungkinan untuk negosiasi karena mereka sendiri memperoleh bagian dari tagihan tersebut. Kecuali, debitur memang sudah tidak mampu membayar, maka penyelesaian utang hanya dapat diselesaikan melalui proses di pengadilan.

Follow my twitter : JoN_WariF_SH
#hukum_indah

Galeri Foto Jon Warif Sitorus SH - #hukum_indah

































October 29, 2012

BANTUAN HUKUM ITU HAK SEMUA ORANG

Prinsip HAM yang sering kita dengar yaitu persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law), pada kenyataannya prinsip ini kerap dilanggar karena alasan status sosial dan status ekonomi seseorang. Bagaimana sebenarnya ketentuan yang ada mengatur tentang bantuan hukum kepada setiap warga negara? Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa negara menjamin hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang yang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. .


http://venzha17.files.wordpress.com/2012/07/bantuan-hukum-cuma-cuma.jpg



Secara jelas disebutkan bahwa orang yang tidak mampu memiliki hak atas bantuan hukum agar dia memperoleh keadilan, dan dalam UU No. 39 Tahun 1999 secara khusus disebutkan terkait hak atas bantuan hukum setiap individu tersebut, antara lain: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. (Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999); Pasal 18 ayat (1) sampai dengan (5) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
  1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
  3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
  4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
  1. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
  2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang. (Pasal 34 UU No. 39 Tahun 1999). Demikian penjelasan singkat mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak azasi manusia akan bantuan hukum.

October 23, 2012

APAKAH PRA PERADILAN ITU?


Pra Peradilan menggambarkan suatu eksistensi sebuah peradilan, dimana terdapat wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan serta ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Lebih jelas dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 10 KUHAP, bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dalam Pasal 77 KUHAP juga dinyatakan bahwa, Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Praperadilan juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan-tindakan penyidik maupun penuntutan agar hak azasi tersangka dalam tingkat penyidikan maupun dalam tingkat prapenuntutan terjamin dan hukum tidak dilanggar oleh para aparat penegak hukum. Dan dengan adanya pra peradilan ini, maka aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa terhadap seorang tersangka harus tetap berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Hal inilah yang membedakan KUHAP dengan masa berlakunya HIR (het Herziene Inlandsche Reglement), dimana pada waktu itu tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik terhadap seorang tersangka tidak terawasi dan tidak terkontrol sehingga dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari aparat penyidik. Untuk itu dengan dibentuknya lembaga praperadilan yang berwenang melakukan koreksi, penilaian dan pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik ini dapat mengontrol para aparat hukum dan menjadi fungsi kontrol yang efektif dalam proses hukum yang ada.

PENANGGUHAN PENAHANAN dan TATA CARANYA


Orang yang dijadikan tersangka maupun terdakwa sudah tentu akan dilakukan penahanan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan tetapi orang tersebut dapat melakukan upaya penangguhan penahanan. hal ini sebenarnya dimaksudkan karena pada saat itu masih diberlakukan asas praduga tak bersalah. Namun, tidak serta merta penangguhan penahanan dapat dinikmati semua tahanan yang statusnya tersangka dan atau terdakwa. Ada hal - hal yang harus diperhatikan terkait hal tersebut. Ayukk kia kupas bagaimana tata cara penahanan itu...
Setiap warganegara yang menjadi tersangka atau terdakwa berhak untuk mendapatkan panangguhan penahanan. Penangguhan penahanan ini diatur pada Pasal 31 KUHAP, dimana suatu penangguhan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa sendiri atau oleh keluarga tersangka atau terdakwa. Permohonan penangguhan penahanan ini harus disertai dengan jaminan, baik itu berupa orang maupun barang. Menurut ketentuan Pasal 31 ayat (1) KUHAP, atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang maupun jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
Penangguhan penahanan ini dilakukan terhadap tahanan yang resmi dan sah, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus di jalani oleh tersangka atau terdakwa ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis. Oleh karena adanya penangguhan penahanan ini maka, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan pada saat masa tahanan resmi sedang berjalan. Penangguhan penahanan ini tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Perbedaannya terutama ditinjau dari segi hukum maupun alasan dan persyaratan yang mengikuti tindakan pelaksanaan penangguhan dengan pembebasan dari tahanan. Berikut penjelasan dari segi hukum terkait pelaksanaan dan persyaratannya :
  1. Pada penangguhan penahanan masih sah dan resmi serta masih dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan oleh Undang-Undang. Namun pelaksanaan penahanan dihentikan dengan jalan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan yang harus dipenuhi.
  2. Pada pembebasan dari tahanan harus didasarkan ketentuan Undang-Undang. Karena tanpa dipenuhinya unsur-unsur yang ditetapkan oleh Undang-Undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Misalnya, oleh karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak diperlukan penahanan. Atau oleh karena penahanan yang dilakukan tidak sah dan bertentangan dengan Undang-Undang maupun karena batas waktu penahanan yang dikenakan telah habis, sehingga tahanan harus dibebaskan dari hukuman. Atau bisa juga oleh karena lamanya penahanan yang dijalani sudah sesuai dengan hukuman pidana yang dijatuhkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Disamping itu dari segi pelaksanaan pembebasan tahanan, dilakukan tanpa syarat jaminan.
Menurut penegasan yang terdapat pada Pasal 31 ayat (1) KUHAP, penangguhan penahanan terjadi karena :
  • Permintaan dari Tersangka atau Terdakwa;
  • Permintaan itu disetujui oleh Instansi yang menahan atau yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan. Terdapat persetujuan dari orang tahanan untuk mematuhi syarat yang ditetapkan serta memenuhi jaminan yang ditentukan.
Dan dalam hal permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa dikabulkan oleh pejabat yang berwenang maka diadakan perjanjian antara pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan tersangka atau terdakwa atau penasihat hukumnya berserta syarat-syaratnya. Adapun syarat-syarat penangguhan penahanan yakni memberikan jaminan baik itu jaminan uang maupun jaminan orang.
Apabila jaminan berupa uang, maka uang jaminan harus secara jelas disebutkan dalam perjanjian dan besarnya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (berdasarkan Pasal 35 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983). Uang jaminan disetor sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya ke panitera pengadilan, dengan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Mengenai nilai uang yang dijadikan jaminan, tidak ada ketentuan secara jelas tentang besaran nilai uang yang dijadikan jaminan.
Namun, dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri, setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak ditemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan (berdasarkan Pasal 36 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983). Pejabat yang berwenang dapat mencabut penangguhan atas tersangka atau terdakwa jika melanggar syarat yang ditentukan, yaitu wajib lapor, tidak keluar rumah atau keluar kota.
Selain itu, biasanya permohonan penangguhan penahanan ini harus mencantumkan syarat bahwa:
  1. Tersangka atau terdakwa tidak akan melarikan diri;
  2. Tersangka atau terdakwa tidak akan menghilangkan barang bukti;
  3. Tersangka atau terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya;
  4. Tersangka atau terdakwa bersedia memenuhi panggilan untuk kepentingan pemerikasaan.
Penetapan syarat-syarat penangguhan penahanan oleh Instansi yang akan memberikan penangguhan penahanan adalah faktor yang menjadi dasar pemberian penangguhan penahanan. Tanpa adanya syarat-syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak dapat diberikan. Tetapkan dulu syarat-syarat yang ditetapkan oleh Instansi yang menahan, kemudian tahanan yang bersangkutan menyatakan bersedia untuk menanti. Atas kesediaan untuk menanti tersebut, barulah instansi yang berwenang memberikan penangguhan penahanan. Dengan demikian penetapan syarat dalam penangguhan penahanan merupakan conditio sinequanon dalam pemberian penangguhan penahanan. Dan masa penangguhan penahanan ini tidak termasuk masa status tahanan, oleh karena itu tidak dipotongkan dalam hukuman yang akan dijatuhkan kemudian.

October 21, 2012

CARA DOWNLOAD LEBIH CEPAT DARI IDM!!!

Trik Download Super Cepat! IDM Lewat!





Biasanya saya kalau download menggunakan download accelelator atau internet download manager memang bisa cepat. Dikarenakan IDM saya sering error sewaktu download, akhirnya mencoba menggunakan cara lain, dan cara ini sangat berhasil!



Saya menggunakan DownThemAll!. Anda tahu DownThemAll!? Ini adalah fasilitas dari browser mozilla yang memberikan download manager berkekuatan 3000 tenaga kuda, hehehehe....

Coba Anda lihat perbedaan sewaktu saya menggunakan IDM dengan menggunakan DownThemAll!.

Sewaktu menggunakan IDM



Sewaktu menggunakan DownThemAll!




Anda lihat perbedaan kecepatan dari kedua download manager diatas? Hingga 3 x lipat lebih cepat dari IDM. SO???? Download disini

https://addons.mozilla.org/en-US/firefox/addon/201/

Yuk menjaga internet sehat dan aman dengan Mengenal Hosting dan Domain lebih dalam lagi :)

Update:

Atas permintaan bang biannero, maka saya tambahin artikel ini. Cara pasangya seperti masang Add-on mozilla pada umumnya. Download dulu di https://addons.mozilla.org/en-US/firefox/addon/201/

Setelah sukses download, maka secara otomati pop up akan keluar yang berisi hasil downloadan tsb. Klik "Install", lalu setelah proses isntall selesai, klik "Restart" yang ada di jendela pop up tsb. Dgn demikian DownThemAll! secara otomatis masuk tool download.

Lihat cara download menggunakan DownThemAll!berikut:

Di sable dulu IDM nya ya... jika sudah lalu klik link yang mau di download. Akan keluar seperti ini

Pilih no.2 dan Klik OK.



Pada pilihan Save files in klik gambar folder orange sebelah kanan dan pilih dimana Anda akan menyimpan hasil downloadan nanti lalu klik Start!




Diatas saya contohkan menympan di folder Software lalu klik OK. Tinggal nunggu proses download nya.

October 15, 2012

MALPRAKTIK dalam DUNIA KEDOKTERAN

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Praktik Kedokteran juga menyebutkan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Dan sehubungan dengan profesi kedokteran yang bersifat melayani tersebut, maka terhadap sifat melayani itulah profesi dokter atau tenaga medis harus berhadapan dengan hak-hak masyarakat. Oleh karenanya, jika terjadi dugaan atau indikasi adanya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, dokter harus berhadapan dengan laporan atau pengaduan hukum dari masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan.
Terkait hal diatas, maka Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah menjawab kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur mengenai praktik kedokteran. Dan berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran memiliki kewajiban sebagai berikut :
  • Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
  • Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
  • Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia;
  • Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
  • Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Sedangkan terhadap pasien sendiri, dalam Pasal 55 juga disebutkan hak-hak pasien dalam sebuah praktik kedokteran, antara lain adalah :
  • Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;
  • Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
  • Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
  • Menolak tindakan medis; dan
  • Mendapatkan isi rekam medis.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juga mengatur mengenai disiplin profesi. Dan Undang-Undang pun mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP (Surat Ijin Praktek), dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu. Undang-Undang Praktik Kedokteran ini pada akhirnya mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah seorang dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Dan pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.
Istilah sebagaimana yang disebutkan diatas dikenal dengan malpraktik, dimana pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan seorang dokter dalam melakukan profesinya, menimbulkan kerugian bagi oranglain. Berikut dibawah ini, 2 (dua) bentuk malpraktik jika ditinjau dari segi etika profesi dan hukum, yakni :
Malapraktik Etika
Malapraktik yang dilakukan seorang dokter apabila dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran sebagaimana tercantum di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
Malapraktik Yuridis
  • Malapraktik perdata, yakni terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi tarapetik oleh dokter atau tenaga medis lainnya. Selain itu, terjadi perbuatan melangar hukum yang menimbulkan kerugian terhadap si pasien.
  • Malapraktik pidana, yakni terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya medis.
  • Malapraktik administrasi, yakni terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya, menjalankan praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktik dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktik tanpa membuat catatan medik

Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient." Definisi tersebut dari segi hukum dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran ataupun ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, contohnya seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji atau diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan hal-hal lainnya.  Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting adalah lebih ke arah deliberate violation atau kaitannya dengan motivasi.
Kelalaian medik yang merupakan salah satu bentuk dari malpraktik medis, merupakan bentuk malpraktik medis yang kerap terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Dan sebuah kelalaian dapat terjadi kedalam 3 (tiga) bentuk, yakni sebagai berikut :
  • Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), contohnya seperti melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).
  • Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), contohnya seperti melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
  • Nonfeasance berarti tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Dan berdasarkan pelanggaran-pelanggaran medis yang kerap terjadi, berikut dibawah ini merupakan tata cara pengaduan dan proses pemeriksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, dokter gigi atau Tenaga Medis, antar lain sebagai berikut :
  1. Pengaduan adalah setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi, dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadu secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Indonesia (MKDKI).
  2. Surat pengaduan harus memuat antara lain, indentitas pelaku, nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, serta alasan-alasan pengaduan tersebut.
  3. Pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
  4. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
  5. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
  6. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan konsil kedokteran Indonesia.
  7. Keputusan yang dikeluarkan dapat berupa, dinyatakan bersalah dengan saksi disiplin atau dinyatakan tidak bersalah.
  8. Sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa, pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktik, atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan atau kedokteran gigi.

October 11, 2012

PROSEDUR PENCABUTAN DELIK ADUAN

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila terdapat pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Pengaduan itu sendiri merupakan hak dari setiap korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur pada Pasal 75 KUHP, yang menyebutkan bahwa orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan. Delik aduan ini dimaksudkan untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 1 ayat (25) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Dengan kata lain, delik aduan hanya terjadi apabila terdapat pengaduan atau pemberitahuan dari pihak yang berkepentingan untuk menindak berdasarkan hukum atas seseorang yang merugikannya. Delik aduan ada yang bersifat absolut dan delik aduan yang bersifat relatif, berikut contoh delik aduan absolut, antara lain : Pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en bed, terdapat pada Pasal 367 ayat (2) KUHP); Perzinahan (overspelling bagi yang sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat pada Pasal 284 KUHP); Terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP); Kejahatan melarikan anak dibawah umur dan lain-lain. Sedangkan terhadap delik aduan relatif terjadi antara lain terhadap penghinaan dan penipuan.
Berbicara mengenai faktor pencabutan aduan, terhadap delik aduan absolut yang kerap dicabut adalah perzinahaan dan kejahatan melarikan anak di bawah umur, maka faktor penyebab pencabutan pengaduan yakni pertama dikarenakan korban tidak menginginkan aibnya diketahui oleh masyarakat luas yang menimbulkan efek pencemaran nama baik bagi korban. Kedua karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dengan memenuhi hak korban dalam bentuk ganti kerugian dengan sejumlah uang atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh korban. Sedangkan faktor penyebab pencabutan pengaduan terhadap delik aduan relatif adalah korban tidak ingin citra atau nama baik keluarganya menjadi buruk dimata masyarakat kemudian juga karena adanya kesepakatan bersama dalam keluarga untuk mencabut perkara tersebut. Mengenai proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan dimuka persidangan, selama jangka waktu pencabutan pengaduan masih berlaku.
Adapun akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut yakni tehadap pencabutan pengaduan yang bersifat absolut maka penuntutannya pun menjadi batal. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan absolut menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan. Sedangkan terhadap delik aduan relatif pencabutan pengaduan dapat diakukan, tetapi proses pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan baik dalam tahap penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan dimuka pengadilan. Pada hakikatnya delik aduan relatif merupakan delik biasa yang berhubungan dengan keluarga maka delik tersebut menjadi delik aduan yang hanya bisa dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari korban. Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik pengaduannya dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kecuali perzinahan bagi pasangan yang sudah menikah dapat ditarik sampai dengan pemeriksaan pengadilan belum dimulai sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 284 ayat (4) KUHP.

TATA CARA DAN PROSES PELAPORAN TINDAKAN KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Dan terhadap kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga tersebut, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut dibawah ini merupakan prosedur pelaporan terhadap kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, yakni :
  1. Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian), baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.
  2. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
  3. Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orangtua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan.
  4. Korban atau keluarga dapat juga meminta bantuan dari relawan pendamping (Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang perempuan dan anak), advokat, pekerja sosial, untuk mendampingi korban melaporkan ke pihak kepolisian.
Terhadap pelaporan yang dilakukan maka dalam waktu 1x24 jam, pihak kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban paling lama 7 (tujuh) hari dan wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Adapun cara pengajuan permohonan surat penetapan perintah perlindungan adalah sebagai berikut ini :
  1. Permohonan dapat diajukan secara tertulis oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau pembimbing rohani kepada ketua pengadilan di wilayah kejadian berlangsung. Permohonan tersebut harus disetujui oleh korban. Namun dalam keadaan tertentu permohonan tersebut bisa diajukan tanpa persetujuan korban, dalam hal korban pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
  2. Permohonan dapat diajukan secara lisan. Panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
  3. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Dan permohonan perpanjangan ini diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
Dalam memproses kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, prosedur hukum yang dilakukan yakni melalui penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Korban dalam proses ini hanya berhubungan dengan penyidik yakni pihak kepolisian pada saat proses berita acara pemeriksaan, serta berhubungan dengan jaksa dan hakim pada saat pemeriksaan di pengadilan.
Pada umumnya tindak pidana dalam undang-undang PKDRT adalah delik umum, kecuali dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) yakni perbuatan kekerasan fisik/psikis yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah delik aduan. Delik aduan disini yaitu korban KDRT yang harus melaporkan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kekerasan fisik/psikis terhadap isteri atau sebaliknya. Karena tanpa adanya laporan, pihak kepolisian tidak dapat memproses tindak pidana KDRT ini. Adapun akibat dari delik aduan ini, korban kekerasan dapat sewaktu-waktu mencabut laporan kepolisian. Oleh karenanya ketentuan ini mengakibatkan kasus-kasus KDRT yang terjadi tidak pernah selesai atau pelakunya tidak dapat dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.

PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN

Jaman sekarang ini, kita sering mendengar ungkapan perbuatan tidak menyenangkan, akan tetapi banyak diantara kita menganggap sepele ungkapan tersebut dan dianggap sebagai hal biasa, padahal sesungguhnya masalah tersebut sangat besar menurut pandangan hukum. Dalam hukum atau dalam pengertian hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat fatal bagi pelakunya jika perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut tidak disukai atau tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari perbuatan yang tidak menyenangkan, memang akibat perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita, akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan oleh si penderita atau korban, oleh karenanya dari sudut pandang hukum positip, perbuatan yang tidak menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang perorangan, dan oleh sebab itu hukum positif perlu berperan aktif dan mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan, pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap kemerdekaan orang.

Dalam hukum pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana telah disebut di atas diatur dalam Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang rumusannya berbunyi : (1). Diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1 : Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2 : Barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2). Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya di tuntut atas pengaduan orang yang terkena. 

Perkara perbuatan yang tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dilakukan penahanan meskipun ancaman hukumannya paling lama 1 (satu) tahun. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf (b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kualifikasi penahanan seorang tersangka dalam dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan tetap mengacu pada suatu alasan hukum seperti diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Dalam surat perintah penahanannya, instansi yang berkepentingan (penyidik, penuntut umum atau hakim) harus menyebutkan alasan penahanannya. Tanpa penyebutan alasan penahanan, maka penahanan yang dilakukan adalah cacat hukum dan dapat di praperadilankan.

Pada praktek hukum, seorang tersangka dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan umumnya tidak dilakukan penahanan. Praktek umum ini tidak berarti menyampingkan kewenangan penahanan yang ada pada masing-masing instansi aparatur penegak hukum seperti penyidik, penuntut umum atau hakim sebagaimana diatur Pasal 20 KUHAP. Artinya, pada waktu tingkat penyidikan, bisa saja si tersangka tidak dilakukan penahanan namun kemudian di tingkat penuntutan, penuntut umum melakukan penahanan. Kesemuanya itu tergantung pada kondisi kepentingan instansi yang mengeluarkan perintah penahanan dimaksud. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terkesan disini bahwa sifat “kepentingan untuk melakukan penahanan” merupakan sifat yang sangat subjektif yang diukur berdasarkan kewenangan yang bersifat subjektif pula. Karena bersifat subjektif pada akhirnya banyak perintah-perintah penahanan dikeluarkan yang tidak sesuai dengan alasan-alasan penahanan sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Dan untuk mengukur apakah perintah penahanan itu bersifat subjektif atau tidak, umumnya dapat dilihat dalam surat perintah penahanan yang dikeluarkan instansi penegak hukum tersebut. Dalam surat perintah penahanan pada bagian pertimbangannya disebutkan beberapa alasan penahanan yang seharusnya alasan-alasan penahanan tersebut dipilih dan dicoret oleh penyidik atau penuntut umum yang mengeluarkan perintah penahanan dimaksud dengan mencocokkan alasan yang tersedia. Tanpa adanya pencoretan tersebut maka alasan penahan tersebut adalah alasan yang bersifat subjektif, entah itu subjektif dari si penyidik atau penuntut umum yang mengeluarkan surat perintah penahanan dimaksud atau subjektif yang merucut pada kesewenang-wenangan lembaga. Dan kembali pada konteks perbuatan pidana tidak menyenangkan yang diatur Pasal 335 ayat (1), sesungguhnya konteks perbuatan pidana yang diatur dalam pasal tersebut ada 2 hal yakni perbuatan melawan hak dan pemaksaan memaksa orang dengan penistaan lisan atau tulisan. Dengan memisahkan konteks perbuatan tidak menyenangkan tersebut maka akan didapat suatu jawaban apakah benar penahanan seorang tersangka dalam perkara pidana perbuatan tidak menyenangkan itu dilakukan atau diterbitkan atau dikeluarkan oleh penyidik atau penuntut umum. Tanpa adanya pemisahan konteks perbuatan si tersangka, maka jelas-jelas, jika si penyidik atau penuntut umum telah bertindak “subjektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan” mengeluarkan surat perintah penahanan yang cacat hukum