#hukum_indah


“... Studies of Law is not always could be in theory ...
because the Law is essentially the logic ....
And the law isn't a rote course only ....

Translate

April 21, 2016

#hukum_indah : Kepemilikan Property oleh WNA (Property Ownership by Foreigner) - Permen ATR No 13 Tahun 2016

Kepemilikan Property oleh WNA Diatur Lebih Lanjut

sumber : hukumonline.com

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”) telah menerbitkan Peraturan No. 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan atau Pengalihan Hak Atas Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (“Peraturan 2016”).
 
Peraturan 2016 diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (“Peraturan 2015”),[1] karena membutuhkan pedoman lebih lanjut mengenai pengaturan orang asing yang berdomisili di Indonesia (“Orang Asing”) dan bermaksud untuk memiliki properti hunian, serta melepaskan atau mengalihkan hak kepemilikan properti hunian tersebut.
 
Sebelumnya permasalahan ini diatur dalam Peraturan Menteri No. 7 tahun 1996, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri No. 8 tahun 1996 (secara bersama-sama disebut sebagai “Peraturan 1996”).
 
Kepemilikan Properti 
 
Orang Asing yang tinggal, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia, atau yang secara umum dianggap memiliki manfaat bagi negara, kini diperbolehkan untuk memiliki properti berdasarkan hak atas tanah berupa hak pakai,[2] sepanjang Orang Asing tersebut memiliki izin tinggal yang masih berlaku.[3]
Peraturan 2016 menetapkan dua jenis properti yang dapat dimiliki oleh Orang Asing, yaitu:[4]
a.     Rumah tunggal yang dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan, atau hak milik; atau
b.     Satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah negara.
 
Patut dicatat bahwa Orang Asing hanya dapat membeli rumah atau satuan rumah susun langsung dari pihak pengembang atau pemilik tanah. Dengan kata lain, Orang Asing dilarang untuk membeli rumah dari tangan kedua.[5] Selain itu, Orang Asing hanya dapat membeli properti dengan batasan harga minimal tertentu. Batasan harga ini dibedakan lebih lanjut berdasarkan jenis dan lokasi properti yang bersangkutan, sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:[6]
 

Property Ownership by Foreigner in Indonesia
 
Peraturan 2016 juga mensyaratkan bahwa setiap pembelian rumah tunggal di atas tanah hak pakai atas hak milik hanya dapat dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Perjanjian ini kemudian harus dicatatkan dalam dokumentasi tanah yang bersangkutan (berupa buku tanah dan sertifikat hak atas tanah).[7]
 
Sebelumnya, Orang Asing tidak perlu memiliki izin tinggal dalam rangka: (i) membangun atau membeli rumah di atas tanah hak pakai atas tanah negara atau tanah hak milik, tanah hak sewa untuk bangunan, atau tanah hak milik; atau (ii) membeli satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara. Terlebih lagi, Peraturan 1996 tidak mengatur mengenai pembelian rumah atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pengelolaan oleh Orang Asing.[8]
 
Peraturan 1996 tidak memuat ketentuan mengenai Orang Asing yang bermaksud membeli properti baru secara langsung dari pengembang atau pemilik tanah (pembelian tangan pertama) maupun batasan harga untuk jenis properti yang berbeda. Akan tetapi, Peraturan 1996 menyatakan bahwa Orang Asing dilarang untuk memiliki sebidang property yang termasuk jenis rumah sederhana dan sangat sederhana.[9]
 
Peralihan dan Pelepasan Hak Kepemilikan Properti
 
Properti yang dibeli oleh Orang Asing juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Namun patut dicatat bahwa Orang Asing wajib mendapatkan persetujuan dari pihak-pihak berikut sebelum properti tersebut dapat dijadikan jaminan:[10]
 
a.     Pemegang hak milik, jika properti yang akan dibebani hak tanggungan dibangun di atas tanah hak pakai atas hak milik;
b.     Pemegang hak pengelolaan, jika properti yang akan dibebani hak tanggungan dibangun di atas tanah hak pakai atas hak pengelolaan.
 
Selain jaminan hak tanggungan, Orang Asing juga dapat mengalihkan hak kepemilikan properti mereka. Dalam hal pengalihan yang terjadi akibat pewarisan, ahli waris Orang Asing tersebut harus mempunyai izin tinggal di Indonesia yang masih berlaku.[11] Orang Asing, atau ahli warisnya, juga wajib melepaskan atau mengalihkan hak kepemilikan properti mereka kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam jangka waktu paling lambat satu tahun apabila tidak lagi memiliki izin tinggal yang sah, atau apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai pemegang hak berdasarkan keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.[12]
 
Jika kepemilikan properti tersebut belum dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan:[13]
 
a.     Untuk rumah yang dibangun di atas tanah hak pakai: rumah tersebut akan dilelang oleh negara dan hasilnya diberikan kepada pemilik rumah yang terakhir;
b.     Untuk rumah yang dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah hak milik: status kepemilikan tanah akan dialihkan kepada pemegang hak milik.
                                                        
Peraturan 1996 tidak memuat ketentuan tentang peralihan atau pelepasan hak kepemilikan properti oleh Orang Asing yang dikemukakan di atas. Namun, Peraturan 1996 memperbolehkan properti tersebut untuk disewakan kepada perusahaan Indonesia berdasarkan perjanjian.[14]
 
Peraturan 2016 mencabut dan menggantikan Peraturan 1996.
 
Peraturan 2016 diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2016
.
Link Peraturannya ini:

Peraturan Menteri ATR No. 13 tahun 2016 
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015


[1]Untuk keterangan lebih lanjut tentang peraturan ini, lihat ILB No. 2797 dan ILD No. 446.
[2]Hak atas tanah ini memberikan pemililknya hak untuk menggunakan serta memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain berdasarkan hak atas tanah berupa hak milik. [Pasal 41 (1), Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria].
[3]Pasal 1 (1) dan Pasal 2 (1) dan (2), Peraturan 2015 | Untuk informasi lebih lanjut mengenai izin tinggal orang asing, lihat ILB No. 2450 dan ILD No. 307.
[4]Pasal 1 (1) dan (2), Peraturan 2016.
[5]Pasal 2 (1), Peraturan 2016.
[6]Pasal 2 (2), Peraturan 2016.
[7]Pasal 1 (3) dan (4), Peraturan 2016.
[8]Pasal 2 (1), Peraturan 1996.
[9]Pasal 2 (2), Peraturan 1996.
[10]Pasal 4, Peraturan 2016.
[11]Pasal 5, Peraturan 2016.
[12]Pasal 6 (1) dan (2), Peraturan 2016.
[13]Pasal 6 (3) sampai (5), Peraturan 2016.
[14] Pasal 3, Peraturan 1996.

April 19, 2016

#hukum_indah : Prosedur Baru Penyelesaian Kasus Pertanahan

Prosedur Baru Penyelesaian Kasus Pertanahan
   
   sumber: hukumonline.com


Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”) telah menerbitkan Peraturan No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Peraturan 2016”).

Peraturan 2016 bertujuan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus pertanahan oleh kantor pertanahan tingkat daerah/pusat (“Kantor Pertanahan”). Sebelum terbitnya Peraturan 2016, persoalan yang sama diatur dalam dua peraturan yang terpisah, yaitu:

1.     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan(“Peraturan 2011”); dan
2.     Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 12 tahun 2013tentang Eksaminasi Pertanahan (“Peraturan 2013”) (secara bersama-sama disebut sebagai “Peraturan Terdahulu”).

Peraturan 2016 ditujukan untuk masyarakat secara umum sebagai pemegang hak atas tanah.

Jenis Kasus Pertanahan

Peraturan 2016 menggolongkan kasus pertanahan ke dalam tiga kategori berikut:
[1]

a.     Sengketa Tanah, yaitu perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas terhadap masyarakat;
b.     Konflik Tanah, yaitu perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas; dan
c.     Kasus Tanah, yaitu perselisihan pertanahan yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.

Secara umum, sebagian besar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan 2016 mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa tanah [sebagaimana didefinisikan dalam huruf (a) di atas] dan konflik tanah [sebagaimana didefinisikan dalam huruf (b) di atas] oleh Kantor Pertanahan. Sedangkan prosedur penyelesaian perkara tanah melalui lembaga peradilan menggunakan hukum acara perdata biasa.

Peraturan 2016 tidak memuat perubahan yang signifikan dibandingkan jenis kasus pertanahan yang diatur dalam Peraturan 2011.

Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kantor Pertanahan dapat menggunakan dua mekanisme berikut untuk menyelesaikan sengketa pertanahan dan kasus pertanahan: a) melalui proses pengawasan mandiri yang dilakukan atas inisiatif Kantor Pertanahan –  pengawasan aktif; atau b) pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat kepada Kantor Pertanahan  –  pengawasan pasif.
[2]

Setiap anggota masyarakat dapat menyampaikan laporan tertulis kepada Kantor Pertanahan melalui kotak surat, situs resmi Menteri, atau Kantor Wilayah Pertanahan yang membawahi lokasi tempat tanah yang disengketakan berada. Laporan tersebut harus dilampiri dengan uraian singkat kasus, fotokopi identitas pengadu, fotokopi surat kuasa (jika ada), dan bukti-bukti pendukung.
[3]Setelah menerima laporan yang lengkap, Kantor Pertanahan kemudian memberikan surat tanda penerimaan pengaduan kepada pengadu. Laporan tersebut kemudian diadministrasikan ke dalam Register Penerimaan Pengaduan Kantor Pertanahan.[4]

Pejabat yang bertanggung jawab di Kantor Pertanahan (“Pejabat”) kemudian harus melakukan pengumpulan data dan informasi mengenai tanah yang bersangkutan. Data tersebut dapat berupa lokasi, data fisik (ukuran), dan data yuridis; putusan peradilan atau dokumen lainnya yang terkait dan dikeluarkan oleh lembaga penegak hukum; data yang dikeluarkan/diterbitkan oleh pejabat yang berwenang; keterangan saksi; dan/atau data pendukung lainnya.
[5]

Berdasarkan data dan informasi tersebut, Pejabat akan melakukan analisis apakah pengaduan atas kasus pertanahan tersebut merupakan kewenangan Menteri atau merupakan kewenangan instansi lain.
[6] Pejabat hanya melakukan tindakan lebih lanjut jika kasus pertanahan terjadi akibat salah satu dari 11 faktor yang tercantum dalam Pasal 11 (3) Peraturan 2016, antara lain:

a.     Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran atau pemetaan tanah yang bersangkutan;
b.     Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
c.     Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran atau penetapan hak tanah;
d.     Tumpang tindih status hak atas tanah;
e.     Penyalahgunaan pemanfaatan ruang;
f.      Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan; dan seterusnya.

Apabila kasus pertanahan yang diadukan bukan disebabkan oleh salah satu faktor di atas, maka Pejabat akan menyampaikan penjelasan tertulis kepada pihak pengadu bahwa kasus tersebut bukan merupakan kewenangan Menteri.
[7] Namun, apabila kasus tersebut disebabkan oleh salah satu faktor di atas, maka Pejabat melaporkan hal tersebut kepada lembaga-lembaga berikut:[8]

a.     Kepala Kantor Wilayah Pertanahan yang membawahi lokasi tempat tanah tersebut berada, jika status hak atas tanah yang bersangkutan diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan; atau
b.     Menteri, jika kriteria-kriteria berikut terpenuhi:
-       Status hak atas tanah diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Pertanahan; dan/atau
-       Sengketa pertanahan atau konflik pertanahan telah menjadi perhatian masyarakat; melibatkan banyak pihak; berhubungan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi, atau kepentingan umum, pertahanan atau keamanan; dan/atau melibatkan instansi pemerintah atau penegak hukum.

Setelah menerima informasi yang relevan dari Pejabat, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri memerintahkan seorang pejabat yang bertanggung jawab (“Pejabat yang Bertanggung Jawab”) untuk menindaklanjuti proses penyelesaian kasus pertanahan tersebut. Di samping itu, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri juga dapat membentuk Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan (“Tim”) paling lama tujuh hari setelah menerima informasi tersebut.
[9]

Pejabat yang Berwenang atau Tim kemudian wajib membuat laporan penyelesaian kasus pertanahan yang memuat rangkuman hasil kegiatan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan tersebut. Laporan ini paling sedikit memuat: pengaduan dari masyarakat, pengumpulan data dan inforomasi yang terkait, analisa kasus, hasil pemeriksaan lapangan, dan hasil paparan (jika ada). Laporan ini kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri.
[10]

Setelah menerima laporan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan atau Menteri menyelesaikan sengketa atau konflik pertanahan degnan menerbitkan keputusan yang menyatakan salah satu hal berikut:
[11]

a.     Pembatalan hak atas tanah;
b.     Pembatalan sertifikat;
c.     Perubahan data pada sertifikat, surat ukur, dan atau dokumen lainnya; atau
d.     Pemberitahuan bahwa seluruh proses administrasi tanah yang disengketakan telah memenuhi seluruh prosedur yang berlaku.

Patut dicatat bahwa keputusan tersebut wajib diterbitkan paling lama 14 hari kerja setelah Menteri menerima laporan, atau tujuh hari setelah Kepala Kantor Wilayah Pertanahan menerima laporan.
[12]

Sebelumnya, Peraturan tidak mengatur tentang pengawasan aktif untuk memeriksa kasus pertanahan. Selain itu, Peraturan 2011 mewajibkan Kantor Pertanahan untuk menyelenggarakan gelar kasus dalam menyelesaikan kasus pertanahan.
[13] Sayangnya, tahap ini tidak lagi diatur dalam Peraturan 2016.

Peraturan 2016 mencabut dan menggantikan Peraturan Terdahulu.

Peraturan 2016 diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2016
.


Ini link peraturannya :


[1]Pasal 1 (1) – (4), Peraturan 2016.
[2]Pasal 4, Peraturan 2016.
[3]Pasal 6 (4) (5), Peraturan 2016.
[4]Pasal 7 (3) dan 8 (1), Peraturan 2016.
[5]Pasal 10 (1) (2), Peraturan 2016.
[6]Pasal 11 (1) (2), Peraturan 2016.
[7]Pasal 11 (4) dan 12 (2), Peraturan 2016.
[8]Pasal 13, Peraturan 2016.
[9]Pasal 14 (1) (2), Peraturan 2016.
[10]Pasal 23, Peraturan 2016.
[11]Pasal 24 (1), Peraturan 2016.
[12]Pasal 24 (5), Peraturan 2016.
[13]Pasal 27 (1), Peraturan 2011.

April 14, 2016

#hukum_indah : Ketentuan THR Baru

Ketentuan THR Baru
  
sumber: hukumonline.com
Menteri Ketenagakerjaan (“Menaker”) telah menerbitkan peraturan No. 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”).

Permenaker 6/2016 mengatur ulang ketentuan Tunjangan Hari Raya (“THR”) Keagamaan yang meliputi: pembayaran THR Keagamaan oleh pengusaha, besaran THR Keagamaan, dan sanksi terhadap pelanggaran. Sebelumnya, hal ini diatur dalam Peraturan Menaker
No. PER.04/MEN/1994 (“Permenaker 1994”).

Permenaker 6/2016 ditujukan untuk pengusaha dan tenaga kerja domestik maupun asing, baik berupa orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, serta masyarakat umum.

Kewajiban Pemberian THR Keagamaan

Permenaker 6/2016 mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja paling sedikit satu bulan, tanpa memandang apakah pekerja/buruh yang bersangkutan dipekerjakan secara tetap atau hanya sementara. THR Keagamaan diberikan satu kali dalam satu tahun selambat-lambatnya tujuh hari sebelum hari raya keagamaan tertentu (secara bersama-sama disebut sebagai “Hari Raya Keagamaan”) berikut ini:
[1]

a.     Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja/buruh yang beragama Islam;
b.     Hari Raya Natal bagi pekerja/buruh yang beragama Kristen Protestan dan Kristen Katolik;
c.     Hari Raya Nyepi bagi pekerja/buruh yang beragama Hindu;
d.     Hari Raya Waisak bagi pekerja/buruh yang beragama Budha; dan
e.     Hari Raya Imlek bagi pekerja/buruh yang beragama Konghucu.

Jangka waktu pembayaran THR Keagamaan yang dijabarkan di atas dapat dikecualikan apabila ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
[2]

Patut dicatat bahwa pekerja/buruh yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut yang belum menerima THR Keagamaan dari perusahaan yang lama berhak atas THR Keagamaan dari perusahaan yang baru. Selain itu, pekerja/buruh tetap yang mengalami pemutusan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan masing-masing juga berhak atas THR Keagamaan.

Sebelumnya, kewajiban ini hanya berlaku untuk pekerja/buruh dengan masa kerja tiga bulan atau lebih.
[3] Selain itu, Permenaker 1994 tidak mengakui Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya Keagamaan.[4]

Besaran THR Keagamaan

THR Keagamaan diberikan dalam bentuk uang berupa mata uang Rupiah.
[5] Besaran THR Keagamaan sendiri berbeda-beda sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh yang menerimanya, sebagaimana dijabarkan dalam tabel berikut:[6]
 
Masa KerjaBesaran THR[7]
12 bulan secara terus menerus atau lebihSetara satu bulan upah pekerja/buruh yang bersangkutan
1 sampai 12 bulan(masa kerja /12) x satu bulan upah

Sementara itu, besaran upah yang dipergunakan untuk menentukan besaran THR Keagamaan untuk pekerja lepas atau pekerja harian ditetapkan sebagai berikut:
[8]
 
Masa KerjaPenghitungan THR Keagamaan
12 bulan secara terus menerus atau lebihRata-rata upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan
Kurang dari 12 bulanRata-rata upah yang diterima setiap bulan selama masa kerja

Formula penghitungan yang dijabarkan di atas dapat dikecualikan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan oleh pengusaha tersebut. Dalam hal ini, pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan yang lebih besar dari formula penghitungan di atas.
[9]

Terdapat tiga perbedaan utama antara Permenaker 6/2016 dengan Permenaker 1994 terkait pemberian THR Keagamaan. Pertama, Permenaker 1994 menyatakan bahwa THR Keagamaan dapat diberikan dalam bentuk lain selain uang, sepanjang tidak melebihi 25% dari total THR Keagamaan yang harus dibayarkan.
[10] Kedua, pengusaha yang belum sanggup memenuhi kewajiban pemberian THR Keagamaan dapat mengajukan permohonan pengecualian pembayaran THR Keagamaan kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.[11] Ketiga, Permenaker 1994 tidak memuat ketentuan tentang penghitungan upah untuk pekerja lepas.

Sanksi

Pengusaha yang tidak melaksanakan kewajiban pembayaran THR Keagamaan secara tepat waktu akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR Keagamaan yang harus dibayarkan, serta sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan. Patut dicatat bahwa pengenaan sanksi tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan kepada pekerja/buruh.
[12]

Permenaker 6/2016 mencabut dan menggantikan Permenaker 1994.

Permenaker 6/2016 berlaku sejak tanggal 8 Maret 2016
.
 
Link Download Permenaker 6/2016:
 
 
 




[1]Pasal 1 (2), Permenaker 6/2016.
[2]Pasal 5 (3), Permenaker 6/2016.
[3]Pasal 2, Permenaker 1994.
[4]Pasal 1, huruf e, Permenaker 1994.
[5]Pasal 6, Permenaker 1994.
[6]Pasal 2 dan Pasal 3 (1), Permenaker 6/2016.
[7]Upah bulanan yang ditetapkan di atas dapat berupa upah bulanan  sebelum atau sesudah ditambah tunjangan-tunjangan lain (tergantung metode yang dipilih pengusaha).
[8]Pasal 3 (2) dan (3), Permenaker 6/2016.
[9]Pasal 4, Permenaker 6/2016.
[10]Pasal 5, Permenaker 6/2016.
[11]Pasal 7, Permenaker 1994.
[12]Pasal 10 dan Pasal 11, Permenaker 6/2016

#hukum_indah : OJK Atur Ulang Ketentuan Rencana Bisnis Bank

OJK Atur Ulang Ketentuan Rencana Bisnis Bank
  
 sumber: hukumonline.com


Jasa Keuangan (“OJK”) telah menerbitkan Peraturan No. 5/POJK.03/2016 (“Peraturan OJK”)tentang Rencana Bisnis Bank. Intinya, Peraturan OJK memuat sejumlah aspek yang harus dicantumkan oleh bank umum maupun syariah (“Bank”) ketika menyusun rencana bisnis. Selain itu, Peraturan OJK juga menetapkan prosedur yang harus ditempuh Bank dalam rangka melaporkan rencana bisnis dan laporan realisasi rencana bisnis tersebut kepada OJK.

Sebelum terbitnya Peraturan OJK, persoalan ini telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (“BI”) No. 12/21/PBI/2010tentang Rencana Bisnis Bank (“Peraturan BI”).[1]

Peraturan OJK ditujukan untuk bank umum maupun syariah.

Rencana Bisnis Tahunan

Peraturan OJK mewajibkan direksi Bank untuk menyusun rencana bisnis setiap tahun.[2] Dalam menyusun rencana bisnis tersebut, Bank harus memperhatikan faktor internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha, prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat, serta penerapan manajemen risiko.[3] Rencana bisnis yang telah disusun oleh dewan direksi Bank wajib mendapat persetujuan dewan komisaris dan dikomunikasikan kepada seluruh pemegang saham maupun jenjang organisasi Bank tersebut.[4]

Rincian mengenai hal-hal yang harus dicantumkan dalam rencana bisnis bank dapat dilihat dalam tabel berikut ini:[5]
 
NoCakupan Rencana BisnisIsi
1Ringkasan eksekutif[6]a.    Visi dan misi Bank;
b.    Arah kebijakan Bank;
c.     Langkah strategis yang akan ditempuh Bank;
d.    Indikator keuangan utama; dan
e.    Target kegiatan usaha jangka pendek dan menengah.
2Kebijakan dan strategi manajemen[7]a.    Analisis posisi Bank dalam menghadapi persaingan usaha;
b.    Kebijakan manajemen (policy statements);
c.     Kebijakan manajemen risiko dan kepatuhan; dan seterusnya.
3Penerapan manajemen risiko dan informasi kinerja Bank saat ini[8]a.    Penilaian profil risiko;
b.    Penerapan tata kelola yang baik;
c.     Kinerja keuangan, terutama dari aspek permodalan (capital) dan rentabilitas (earnings); dan seterusnya.
4Proyeksi laporan keuangan[9]a.    Posisi keuangan (neraca);
b.    Laba-rugi;
c.     Komitmen dan kontinjensi; dan
d.    Asumsi makro dan mikro yang digunakan.
5Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya[10]Proyeksi rasio keuangan pokok dan pos-pos tertentu lainnya
6Rencana pendanaan[11]a.    Penghimpunan dana pihak ketiga;
b.    Penerbitan surat berharga; dan
c.     Rencana pendanaan lainnya.
7Rencana penanaman dana[12]
 
a.    Penyediaan dana kepada pihak terkait;[13]
b.    Pemberian kredit/pembiayaan kepada debitur inti;
c.     Penanaman dana dalam bentuk surat berharga;
d.    Bentuk penanaman dana lain; dan seterusnya.
8Rencana penyertaan modal[14]Rencana ini harus menjamin bahwa setiap penetapan bidang usaha, jumlah dana yang ditanamkan, dan persentase kepemilikan memenuhi ketentuan prinsip kehati-hatian.
9Rencana permodalan[15]a.    Proyeksi pemenuhan kewajiban penyertaan modal minimum (KPMM); dan
b.    Pengubahan modal (misalnya pengubahan jenis atau jumlah modal).
10Pengembangan sumber daya manusia;[16] dan lain sebagainya.a.    Rencana pengembangan organisasi;
b.     Rencana pengembangan sistem informasi manajemen; dan seterusnya.

Sebelumnya, Peraturan BI tidak memuat ketentuan tentang rencana penyertaan modal  yang tercantum dalam tabel nomor (8) di atas.

Kewajiban Pelaporan

Bank wajib menyampaikan dua macam dokumen kepada OJK, yaitu rencana bisnis dan laporan realisasi rencana bisnis tersebut.
Rencana bisnis wajib disampaikan paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun rencana bisnis dimulai.[17] Sementara itu, laporan realisasi rencana bisnis harus disampaikan secara triwulanan sesuai dengan tenggat waktu berikut:[18]

a.    Paling lambat satu bulan setelah triwulan yang bersangkutan berakhir; atau
b.    Paling lambat 45 hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir, bagi bank yang memiliki lebih dari 100 kantor cabang namun sistem antar kantornya belum online.

Patut dicatat bahwa OJK dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian rencana bisnis apabila OJK menganggap rencana bisnis tersebut belum memadai.[19] Dalam situasi tersebut, penyesuaian rencana bisnis wajib disampaikan kepada OJK paling lambat 15 hari kerja setelah tanggal surat permintaan dari OJK dibuat.[20]

Sebelumnya, rencana bisnis dan laporan realisasi rencana bisnis disampaikan kepada BI alih-alih kepada OJK. Selain ketentuan ini, Peraturan OJK tidak memuat ketentuan yang berbeda jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Peraturan OJK mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 2016
.TM

 Ini Link POJK nya... Happy Share...
 

[1]Untuk informasi lebih lanjut tentang Peraturan BI, lihat ILB berjudul “New BI Regulation on Bank Business Plans”.
[2]Pasal 3 (1),Peraturan OJK.
[3]Pasal 2 (1) dan (2), Peraturan OJK.
[4]Pasal 3, Peraturan OJK.
[5]Pasal 5, Peraturan OJK.
[6]Pasal 6, Peraturan OJK.
[7]Pasal 7, Peraturan OJK.
[8]Pasal 8, Peraturan OJK.
[9]Pasal 9, Peraturan OJK.
[10]Pasal 10, Peraturan OJK.
[11]Pasal 11, Peraturan OJK.
[12]Pasal 12, Peraturan OJK.
[13]Pihak terkait adalah pihak perseorangan atau perusahaan/badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan atau keuangan. [Lihat Pasal 1.5 Peraturan BI No. 7/3/PBI/2005]
[14]Pasal 13, Peraturan OJK.
[15]Pasal 14, Peraturan OJK.
[16]Pasal 15, Peraturan OJK.
[17]Pasal 19, Peraturan OJK.
[18]Pasal 21 (1), Peraturan OJK.
[19]Pasal 19 (2), Peraturan OJK.
[20]Pasal 19 (3), Peraturan OJK.