Disusun : Jon Warif Sitorus (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia)
R I N G K A S A N
I.
HAM ( HAK AZASI MANUSIA) DALAM TRANSISI POLITIK
1.
TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pengertian dasar demokrasi merupakan suatu ideologi negara
yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi
pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham demokrasi, antara lain : Spanyol,
Argentina, Chile, Brazil, Uruguay, Polandia, Jerman dan lain sebagainya. Untuk
memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi
dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Menurut Frans Magnis
Suseno, totaliterisme adalah istilah ilmu politik untuk menyebut suatu gejala
paling mengejutkan dalam sejarah manusia, suatu gejala yang secara mendadak
mencuat dalam bagian pertama abad ke-20 yang baru lalu: negara totaliter. Hakekat
totaliterisme dilukiskan oleh George Orwell dalam bukunya Animal Farm.
Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah, ia tidak
hanya mau memiliki monopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan
bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan,
belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa
yang tidak ikut, akan dihancurkan.
Samuel P. Huntington mengungkapkan bahwa, negara yang
otoriter dulunya berubah menjadi demokrasi adalah lebih dari 40 (empat puluh)
negara. Adapun perubahan tersebut dengan cara - cara, antara lain :
- Perubahan
dengan cara yang signifikan;
- Penguatan
kelompok reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi;
- Negosiasi
dengan kelompok oposisi; dan
- Intervensi
Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa.
Anthony Giddens mengungkapkan bahwa, fungsi pemerintah dalam
hal transisi, antara lain :
- Menyediakan
sarana untuk kepentingan-kepentingan yang beragam;
- Menawarkan
sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
- Menciptakan
dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu
kebijakan bisa terus dilanjutkan;
- Menyediakan
beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk
keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;
- Mengatur
pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli
mengancam;
- Menjaga
keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan
kebijakan;
- Mendukung
perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem
pendidikan;
- Menopang
sistem hukum yang efektif;
- Memainkan
peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro
maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;
- Membudayakan
masyarakat – pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas,
tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem
pendidikan dan sistem-sistem lainnya; dan
- Mendorong
aliansi regional dan transnasional, serta sasaran-sasaran global.
Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka
diperlukan untuk memisahkan hubungan antara sipil – militer, membangun
kekuasaan wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem
kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi, liberalisasi, privatisasi,
dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan
menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi
kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan
kelompok agama.
Setelah ORBA (Orde Baru), di Indonesia kekuasaan militer
masih sangat besar. Terlihat pada rangkap jabatan yang berlaku pada masa itu.
Contoh : seorang TNI-POLRI bisa menduduki kursi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Maka langkah yang harus diambil adalah recovery militer untuk kembali kepada
fungsinya yang dasar yaitu sebagai pertahanan dan keamanan negara.
Dikarenakan
adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan
transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon
adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk, langkah
ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah
instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan
yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus
diperhatikan.
Selanjutnya dikembangkan oleh Bronkhorst yaitu :
memperbaharui tatanan sosial baru; membuat suatu propaganda yang mengatakan
bahwa salah untuk menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan sangat berkuasa
dengan tujuan untuk menghindari proses balas dendam dikarenakan pihak-pihak
yang dulunya berkuasa dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan mereka
kembali. Sumber daya yang ada pada penguasa yang lama adalah sangat diperlukan
untuk proses rekonstruksi sebuah negara; dan melakukan pembersihan pada setiap
lini pemerintahan.
Dalam Paradigma Baru ada yang disebut sebagai kelompok
reformis yang menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi
perkembangan politik tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan.
Pada kenyataan yang ada, pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika
tidak ada dukungan dari pihak sipil.
Menurut Harold Crouch, ada 5 (lima) langkah yang perlu
ditempuh untuk mengubah paradigma TNI-POLRI tersebut, yaitu :
- Mengurangi
peran TNI-POLRI di dalam pemerintahan;
- Penghapusan
kekaryaan;
- Menetralisasi
politik;
- Pemisahan
POLRI dari TNI; dan
- Orientasi
pertahanan.
Dengan
adanya langkah yang ditempuh oleh TNI-POLRI di Indonesia tersebut, tampak bahwa
kepemimpinan TNI-POLRI yang baru telah menunjukkan dukungan terhadap
demokratisasi dan secara berkala merujuk pada “supremasi sipil” suatu
terminologi yang selalu dihindari oleh kelompok militer masa lalu.
2. HAM (
HAK AZASI MANUSIA) DALAM TRANSISI POLITIK
A.
Kasus Pembunuhan Steven Biko Di Afrika Selatan
Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang
kharismatik, ia ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam
pos tersebut dan meninggal ditempat sekitar 1 (satu) bulan dari waktu
penahanannya. Meninggal dengan mulut berbusa dan penuh luka bekas pukulan. Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang
berada pada pos tempat Steven Biko dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, namun hal tersebut hanya bisa
dikabulkan apabila mereka menceritakan segala tindakan mereka kepada Steven.
Konstitusi Transisi Afrika Selatan mengabulkan permintaan mereka dengan
memperhatikan segala aspek yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika
kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya.
B.
Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi
Kemudian, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko
mengajukan tuntutan kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum
para pelaku tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah
Konstitusi Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan
bertentangan dengan hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan
mendalilkan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila
diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para
pembunuh Steven Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian
dengan jujur dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.
C.
Perspektif Hukum Internasional
Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan,
pemberian amnesti kepada pembunuh Steven Biko merupakan inkonstitusional dan
bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga dengan negara-negara
domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti karena sudah memiliki
hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk pembalasan
dendam. Masyarakat internasional dapat dengan sendirinya menegakkan
ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward
looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “outward looking”.
Outward looking adalah semua ketentuan dan badan internasional bersifat
mengikat (binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward looking
adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan,
sebab konsep kedaulatan negara.
3.
PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM TRANSISI POLITIK
A.
Negara Amerika Latin
Menurut O’Donnell ada beberapa karakteristik transisi
politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan, antara lain : heterogenitas yang
lebih tinggi di Amerika Latin dari pada Eropa Selatan; memenuhi kategori
otoriterisme birokratis; dan memiliki unsur-unsur patrimonialis. Contoh negara
otoriter birokratis dan otoriter tradisional, yaitu :
- Di
Nikaragua yang dikuasai oleh rezim Somoza adalah termasuk salah satu negara
yang memenuhi kategori ini;
Contoh negara otoriter “populis” adalah Peru.
B.
Non – Amerika Latin
- Di
Yunani, pada tanggal 21 April 1967 suatu kelompok perwira militer tingkat
menengah yang disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari
Perdana menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara
sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan
mengembalikan Yunani ke arah demokrasi;
- Di
Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang
dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan
untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, pada tahun
1980-an, rezim totaliter di Spanyol tersebut diganti dengan rezim yang
demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
II.
KEADILAN TRANSISIONAL
A.
Memutus Masa Lalu, dan Mencari Jalan Baru
Masyarakat demokrasi yang baru berusaha untuk memutuskan
kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun. Ada timbul pertanyaan
apakah masyarakat menghukum penguasanya yang lama atau membiarkannya. Namun,
biasanya beberapa bangsa hanya menutup mata terhadap masa lalunya yang kacau.
Menurut Bronkhorst, ada yang perlu dibahas dalam konteks
keadilan pada masa transisi yaitu :
-
Kebenaran;
-
Rekonsiliasi; dan
-
Keadilan.
Meskipun
demikian peran keadilan lebih banyak menimbulkan perdebatan dari pada kebenaran
dan rekonsiliasi. Komisi-komisi pada sekitar 40 (empat puluh) negara yang
dibentuk untuk menuntaskan masalah masa lalu yang otoriter menunjukkan bahwa
pentingnya konsepsi keadilan transisional.
B.
Politik Memori
Menurut Ruti G. Teitel, jika suatu negara yang otoriter
sudah berubah ke arah demokrasi maka permasalahannya sekarang adalah bagaimana
masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa lampau
karena berkaitan dengan masa depan negara, antara lain :
- Bagaimanakah
pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan
hukum yang dilahirkannya?
- Tindakan-tindakan
hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif?
- Apakah
– jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap
masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata
pemerintahan yang liberal?
- Hukum
apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?
2.
KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI
A.
Permasalahan
Permasalahan
internasionalisasi pada waktu transisi, antara lain :
- Membersihkan
suatu kelompok besar dari para mantan pejabat komunis dan kolaboratornya; dan
- Menurut
Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu peranan
baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari rezim
sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili.
B.
Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif
Konsep penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum
internasional. Hukum internasional berguna untuk mengurangi dilemma dari aturan
hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi
legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku
surut).
C.
Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda
Menurut Lawrence Weschler dalam bukunya yang membahas
mengenai penyelesaian masalah dengan para penyiksa adalah secara retrospektive,
penyiaran kebenaran sampai kepada tahap tertentu untuk menebus penderitaan
korban bekas suatu rezim. Sedikitnya, sampai pada batas tertentu ini adalah
untuk menjawab dan menghargai para korban tersebut, yang merupakan pembuktian
terbalik bagi para penyiksa yang berpura-pura untuk menuntut sesuatu. Secara
prospektif, penyiaran kebenaran menggunakan banyak cara yang halus dalam hal
menuntut para pelaku kejahatan kemanusiaan. Untuk hal tersebut adalah struktur
pokok dari penyiksaan bahwa itu terjadi secara rahasia, di dalam kegelapan,
merupakan ganjaran untuk membuat perhitungan dengan membuat malu para pelaku para
penyiksa tersebut perlu diperlakukan seperti itu dan dengan tidak seorangpun
akan pernah tahu; jika tidak seluruh pernyataan yang mendasari penalaran
memberikan kontribusi miliknya akan dengan cepat masuk ke dalam pertanyaan.
D.
UU Lustrasi Cekoslovakia
Proses transisi di negara ini menggunakan sistem Uni Soviet
juga. Namun, perekonomian ambruk lalu program ekonomi yang barupun
didiskusikan. Lalu pada Januari 1968 terjadilah reformasi demokrasi dan ekonomi
tapi usaha tersebut sia-sia dikarenakan Cekoslovakia kembali diduduki oleh
rezim komunis yaitu Uni Soviet, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, dan Bulgaria
yang menginvasi mereka. Paham komunis kembali diberlakukan di negara tersebut.
Hal tersebut mengakibatkan munculnya pemerintahan baru yang
dengan cepat melawan warisan-warisan ketidakadilan dari rezim komunis. Pada
tanggal 4 Oktober 1991 diberlakukanlah Law on Lustration. Yang bertujuan
untuk mengungkapkan kasus 100,000 (seratus ribu) tahanan politik yang
diidentifikasikan komunis dan memberikan amnesti kepada 200,000 (dua ratus
ribu) orang lainnya.
Law on Lustration selanjutnya di review kembali di Mahkamah Konstitusi
Cekoslovakia atas kritikan dari ILO (International Labor Organization) karena
telah melanggar undang-undang tersebut.
Dalam hal lustrasi ini Uhde menyatakan bahwa tingkat
pelanggaran dan kejahatan yang telah dilakukan melawan hak, hak azasi manusia,
dan kebidupan menjadi lebih tinggi dari pada beberapa hukum yang akan
menyelesaikannya. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita seharusnya memesan pada
pencarian kehidupan untuk definisi dan keadilan yang absolut.
E.
Akibat Signifikan Skenario Pasca Komunis
Empat skenario pascakomunis, antara lain :
- Suatu
negara pascakomunis secara gradual bertransformasi menjadi suatu negara yang
demokrasi pluralis stabil;
- Dari
suatu sistem otoritarian, menurut Holmes beberapa peneliti menghasilkan suatu
gradasi yang baik dari hal ini, dan dapat diargumentasikan bahwa suatu
pembedaan harus dibuat antara kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan
versi-versi – dengan asumsi adanya kemungkinan kembalinya ke sistem komunis
lama, meskipun tidak terdapat sinyal-sinyal yang meyakinkan tentang kemungkina
terjadinya hal ini padasaat ini – dalam konteks komunis;
- Secara
essential tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah
berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah;
dan
- Skenario
yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat
diprediksi.
3.
KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIK
A.
Kelompok Realis vs Kelompok Idealis
Keadilan transisional adalah keadilan yang diasosiasikan
dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Transisi mengimplikasikan
pergeseran-pergeseran paradigma dalam kosepsi keadilan; karenanya, fungsi hukum
menjadi secara mendalam dan secara inheren berlawanan azas (paradoxical).
B.
Hukum Sebagai Produk dari Perubahan Politik
Suatu negara apabila kondisi politiknya berubah maka
hukumnya akan berubah juga. Jadi hukum adalah suatu alat untuk melegitimasi
kekuasaan. Berbagai kepentingan menjadi satu dan kepentingan nasionallah yang
ada pada suatu hukum.
C.
Tergantung pada Hubungan Antara Hukum dan Politik
Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum
internasional dan politik, hukum pada umumnya dipahami sebagai mengikuti
konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik.
Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebagaimana kelompok
realis menekankan pada kaitan yang erat antara hubungan hukum dan politik. Dapat
disimpulkan bahwa ada intervensi antara politik terhadap hukum. Dalam
realitanya, hukum tidak steril dalam pembentukannya. Politik sering berperan
dalam pembuatan dan pelaksanaannya.
4.
DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM
A.
Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan
Pada masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal
penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan
permasalahan keadilan pada rezim yang menggantikan. Pertanyaan yang muncul
adalah dalam hal apa yang membawa rezim masa lalu ke pengadilan.
Dalam periode ini, mahkamah-mahkamah konstitusi (constitutional
courts) yang baru didirikan telah memikul beban institusional yaitu bagaimana
menetapkan suatu sistem hukum yang rule of law.
B.
Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para Mantan Kolaborator Nazi
Di Jerman ada 2 (dua) ahli hukum yang saling bertolak
belakang dalam hal penghukuman terhadap para mantan kolaborator Nazi, yaitu :
Hart dan Fueller. Hart menganut aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa
seluruh hukum yang masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada
ketentuan-ketentuan hukum baru, jadi walaupun tidak bermoral tetap harus
dijalankan. Sedangkan menurut Fueller peraturan yang menghukum para Nazi
tersebut adalah hukum yang baru dibuat berdasarkan demokrasi karena putusnya
hubungan dengan rezim otoriter maka putus pula hubungan hukum nazi tersebut. Penyelesaian
masalahnya, akhirnya pemerintahan Jerman memakai cara Fueller untuk menghukum
para kolaborator Nazi tersebut.
T A N G G A P A N
Di Indonesia, pembahasan dan studi mendalam oleh anak bangsa
mengenai HAM mulai gencar dilakukan pada post-orde baru. Studi mengenai HAM itu
sendiripun masih sangat terbatas aksesbilitasnya. Tidak semua kaum akademisi di
Indonesia mempunyai akses yang memadai dalam meraih informasi mengenai HAM,
baik itu dari segi teori ataupun sejarah dan pelaksanaan/pelanggaran HAM di
Indonesia. Itu karena departemen pendidikan atau institusi-institusi pendidikan
yang berwenang tidak (belum) memasukkan kurikulum Hak Asasi Manusia kedalam
mata pelajaran/kuliah pokok.
HAM sendiri juga mengalami masa transisi yang tidak mudah
dalam kaitannya dengan penegakkan HAM di Indonesia. Masyarakat kita yang
terbiasa dengan perlakuan represif aparat pada masa orde-baru, memandang bahwa
HAM itu tidak ada. Secara tidak sadar, masyarakat telah terpengaruh terhadap
mindset semacam ini sehingga HAM dipandang sebagai sebuah hal kurang atau
bahkan tidak penting. Parahnya, mindset
semacam itu masih banyak tertanam kuat dalam pola pikir kaum akademisi dan juga
aparat Negara (termasuk polisi dan TNI). Anggapan bahwa HAM tidaklah penting
dalam kehidupan bernegara tentu saja berpotensi menciptakan
pelanggaran-pelanggaran HAM yang mana hal itu mencederai prinsip hidup
berdemokrasi yang sangat menjunjung tinggi HAM.
Adanya benturan antara unsur-unsur dalam prinsip HAM
tersebut dengan nilai-nilai keagamaan. Dengan fakta bahwa masyarakat kita
adalah masyarakat yang masih sangat terpengaruh oleh nilai-nilai dan ajaran
agama, perbedaan suatu ajaran sekular dengan ajaran agama yang dianutnya akan
menggiring masyarakat untuk berperilaku antipasti terhadap ajaran sekular
tersebut. Contoh mudahnya adalah pada kasus hukuman mati. Pada ajaran HAM,
hukuman mati adalah suatu hal yang dilarang karena setiap manusia mempunyai hak
untuk hidup. Namun dalam ajaran agama, hukuman mati adalah layak dilakukan bagi
mereka yang telah melakukan kesalahan tersebut.
Perbedaan perspektif antara ajaran agama dengan ajaran HAM
menimbulkan prasangka bahwa HAM adalah agenda asing untuk menguasai Indonesia.
Contoh nyata dari prasangka ini adalah serangan LPI (Laskar Pembela Islam)
kantor Komnas HAM. Serangan ini dilakukan dengan alasan bahwa Komnas HAM
bertindak tidak adil dalam masalah antara Islam – Kristen di wilayah-wilayah konflik
seperti Poso, yang mana komnas HAM dianggap membela umat Kristen.
Stigma negatif yang muncul dari kelompok-kelompok keagamaan
terhadap ajaran HAM tentu saja menghambat penegakkan HAM itu sendiri, apalagi
jika kelompok agama ini adalah merupakan agama mayoritas di Indonesia. Sikap
antipati ini cenderung subjektif, sehingga apapun yang tertuang dalam ajaran
HAM dianggap sebagai ajaran pihak asing yang berniat merusak Indonesia tidak
perduli apakah ajaran tersebut pada hakikatnya baik atau tidak bagi dirinya
atau kelompoknya.
Selain sikap bermusuhan terhadap ajaran HAM yang tertuang
secara eksplisit oleh kelompok agama tertentu, aparatur Negara pun juga
ternyata kurang memperhatikan penegakkan HAM itu sendiri. Kepolisian dan
Angkatan bersenjata Indonesia pun dirasa masih sangat kurang dalam menegakkan
HAM. Pihak keamanan seringkali terkesan melakukan pembiaran pelanggaran HAM dan
bahkan memberikan perlindungan terhadap orang-orang atau kelompok yang
melakukan pelanggaran HAM.
Nihilnya kesadaran aparat Negara terhadap HAM membuat aparat
itu sendiri menjadi pelaku pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Papua.Pemerintahpun
terkesan tinggal diam dengan fenomena tersebut diatas. Pendidikan yang jelas
dan formal mengenai HAM pun tetap tidak ada hingga hari ini walaupun
pelanggaran HAM sudah terjadi dimana-mana. Sejauh ini, pendidikan HAM hanya
diberikan oleh LSM Asing atau institusi pendidikan asing kepada anak negeri
ini. Bahkan banyak aktivis-aktivis HAM yang “terpaksa” belajar HAM sendiri
lewat buku-buku import atau e-book/jurnal asing yang beredar di Internet. Hal
ini tidak lain karena sulitnya mencari buku referensi atau buku teks lokal
mengenai HAM. Dengan kondisi seperti itu, yang tampaknya tidak akan ada
perubahan untuk tahun-tahun kedepan, sulit rasanya mengharapkan penegakkan HAM
yang merata bagi rakyat Indonesia.
Walaupun penuh dengan berbagai tantangan yang disebutkan
diatas, perkembangan HAM di Indonesia juga memperlihatkan perkembangan. Dengan
semakin terbukanya arus informasi, yang salah satunya adalah akses internet
yang semakin luas, maka masuknya informasi mengenai HAM dan segala perangkat
yang melengkapinya semakin mudah untuk diakses dan disebarluaskan. Selain itu,
masuknya dan berdirinya berbagai LSM yang berkonsentrasi pada penegakkan dan
pendidikan HAM juga semakin menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM.
Gerakan-gerakan pemuda (Youth movement) pun sudah banyak yang sudah
membicarakan berbagai isu kontemporer, termasuk di dalamnya adalah isu HAM.
Kaum-kaum akademisi Indonesia, terutama yang mendalami bidang humaniora, sudah
sedikit banyak menularkan pemahaman mengenai HAM melalui kuliah-kuliah umum,
buku ataupun sekedar tulisan ringan di blog/website. Beberapa kelompok agama
juga sudah mulai menunjukkan kecenderungan untuk memahami dan mempelajari HAM,
yang mana hal ini sangatlah berarti dalam rangka penyebaran pemahaman HAM
kepada masyarakat relijius.
Masa transisional dari era kediktatoran yang penuh dengan
reduksi HAM menuju ke era demokratis yang mengutamakan penegakkan HAM memang
bukanlah masa yang mudah untuk dijalani, terutama bagi kelompok penegak HAM
yang (masih) merupakan kaum termarginalkan di negeri ini. Penegakkan HAM di
negeri ini dirasakan akan sangat sulit untuk terwujud tanpa adanya pendidikan
HAM yang merata bagi seluruh peserta didik. Namun walaupun demikian, penegakkan
HAM adalah suatu hal yang sangat penting selain system demokrasi itu sendiri
karena demokrasi dan HAM adalah dua variable yang saling menunjang.
Pemerintah sudah saatnya memberikan perhatian khusus dalam
proses penegakkan HAM di Indonesia dalam rangka untuk mematangkan proses
demokratisasi di Indonesia. Dimulai dari pendidikan HAM di tingkat sekolah dan
kampus yang kemudian berkembang menuju pendidikan HAM di tingkat aparat
keamanan seperti Polisi, TNI dan satpol PP. Kemudian pemerintah mulai mengambil
langkah serius untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM lama seperti
lenyapnya aktivis-aktivis reformasi 1998 dan kematian Munir. Pemerintah, juga
mulai dapat melakukan pendekatan berbasis pada HAM alih-alih pendekatan yang
berbasis pada kekuatan militer (koersif) kepada daerah-daerah yang sedang
dilanda gerakan separatisme.
Keruntuhan
rejim otoritarian di Indonesia banyak disebut sebagai masa transisi. Pada masa
ini demokrasi dan penegakan HAM belum bisa dilakukan sepenuhnya karena struktur
lama masih belum hilang sama sekali. Agenda reformasi belum sepenuhnya
dijalankan. KKN masih menyeruak tanpa malu-malu. Tuntutan masyarakat atas
pelanggaran HAM berat masa lalu semakin menguat, namun jalan bagi penyelesaian
pelanggaran HAM banyak menemui kesulitan. Proses hukum yang seharusnya menjadi
tumpuan belum bisa berfungsi secara optimal karena struktur dan tatanannya
belum berubah. Pada masa transisi ini HAM lebih banyak diasosiasikan dengan
pelanggaran HAM berat dan hak sipil politik. Hal ini menunjukkan pemahaman HAM
yang parsial sehingga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya kurang
mendapatkan perhatian. Akibatnya banyak kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya
yang tidak memihak pada rakyat.
Saat ini kita sudah berada di penghujung masa
transisi. Kekuatan-kekuatan otoritarian (militerisme dan pola orde baru)
semakin giat melakukan konsolidasi politik. Hal ini diimbangi dengan komitmen
yang tidak jelas dari pemerintahan terhadap penegakan dan perlindungan HAM.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kebijakan perlindungan dan penegakan HAM
lebih banyak menjadi komoditi politik diiringi dengan masih digunakannya
kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan.
Momentum perlindungan dan penegakan HAM telah
memiliki landasan hukum yang kuat. Masa depan perlindungan dan penegakan HAM
ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu; penyelesaian pelanggaran HAM masa
lalu, pemahaman terhadap wawasan HAM mutakhir, dan komitmen pemimpin nasional
mendatang. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, baik melalui pengadilan HAM ad
hoc maupun KKR, adalah syarat untuk bisa melangkah ke depan dengan belajar
dari kesalahan masa lalu untuk tidak terulang lagi. Dengan mengetahui pola umum
kekerasan dan pelanggaran HAM, kita bisa merumuskan kebijakan yang mampu
mencegah pelanggaran HAM di masa yang akan datang.
Jika penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
tidak bisa dilakukan, maka kemungkinan kesalahan yang sama akan terulang. Kita
tidak mampu membuat kebijakan yang antisipatif terhadap pelanggaran HAM dan
perlindungan HAM. Pelaku pelanggaran HAM juga merasa terbebas dari hukuman
sehingga dapat dengan mudah melakukan hal yang sama di masa depan.Pemahaman
terhadap wawasan HAM menyeluruh yang tidak hanya terfokus pada hak-hak sipil
dan politik tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya sangat diperlukan demi
tercapainya perlindungan dan penegakan HAM.
Kediktatoran tidak hanya terwujud dalam rejim
junta militer atau kerajaan. Kediktatoran juga dapat berbentuk pemerintahan
dengan legitimasi demokrasi namun dalam pengambilan keputusan tidak memihak dan
tidak melibatkan masyarakat secara aspiratif. Di masa depan, pembuatan
kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti tentang pengelolaan
sumber daya alam, sumber daya air, dan privatisasi, harus dilakukan dengan
orientasi utama untuk perlindungan dan penegakan HAM.
Komitmen pemimpin nasional merupakan syarat
mutlak bagi perlindungan dan penegakan HAM. Perlindungan dan Penegakan HAM
bukan hanya kerja Komnas HAM. Kurangnya komitment pemimpin nasional terhadap
perlindungan dan penegakan HAM membuat terhentinya kasus-kasus pelanggaran HAM
di kejaksaan, lambatnya pembuatan perangkat hukum HAM maupun upaya ratifikasi
perjanjian internasional, dan kebijakan pemerintahan. Komitmen yang lemah juga
mengakibatkan kebijakan ekonomi, sosial dan budaya tidak berpihak pada
masyarakat.
Demi tercapainya dan terwujudnya cita-cita
nasional, adalah keharusan bagi bangsa ini untuk mulai memadukan langkah,
belajar dari masa lalu, menyusun, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan yang
terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM, baik Hak Sipil-Politik maupun
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Arinanto,
Satya. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta.
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.