#hukum_indah


“... Studies of Law is not always could be in theory ...
because the Law is essentially the logic ....
And the law isn't a rote course only ....

Translate

March 14, 2013

HAM (HAK ASASI MANUSIA) DALAM TRANSISI POLITIK DI INDONESIA



Disusun : Jon Warif Sitorus (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia)


R I N G K A S A N

I.     HAM ( HAK AZASI MANUSIA) DALAM TRANSISI POLITIK
1.     TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pengertian dasar demokrasi merupakan suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham demokrasi, antara lain : Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay, Polandia, Jerman dan lain sebagainya. Untuk memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Menurut Frans Magnis Suseno, totaliterisme adalah istilah ilmu politik untuk menyebut suatu gejala paling mengejutkan dalam sejarah manusia, suatu gejala yang secara mendadak mencuat dalam bagian pertama abad ke-20 yang baru lalu: negara totaliter. Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh George Orwell dalam bukunya Animal Farm. Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah, ia tidak hanya mau memiliki monopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan.
Samuel P. Huntington mengungkapkan bahwa, negara yang otoriter dulunya berubah menjadi demokrasi adalah lebih dari 40 (empat puluh) negara. Adapun perubahan tersebut dengan cara - cara, antara lain :
-     Perubahan dengan cara yang signifikan;
-    Penguatan kelompok reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi;
-    Negosiasi dengan kelompok oposisi; dan
-    Intervensi Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa.

Anthony Giddens mengungkapkan bahwa, fungsi pemerintah dalam hal transisi, antara lain :
-     Menyediakan sarana untuk kepentingan-kepentingan yang beragam;
-     Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
-     Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
-     Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;
-     Mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam;
-     Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;
-     Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;
-     Menopang sistem hukum yang efektif;
-     Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;
-     Membudayakan masyarakat – pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya; dan
-     Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta sasaran-sasaran global.
Bagi negara-negara yang baru menganut demokrasi maka diperlukan untuk memisahkan hubungan antara sipil – militer, membangun kekuasaan wilayah publik, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju inflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antar etnis dan kelompok agama.
Setelah ORBA (Orde Baru), di Indonesia kekuasaan militer masih sangat besar. Terlihat pada rangkap jabatan yang berlaku pada masa itu. Contoh : seorang TNI-POLRI bisa menduduki kursi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Maka langkah yang harus diambil adalah recovery militer untuk kembali kepada fungsinya yang dasar yaitu sebagai pertahanan dan keamanan negara.
 Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk, langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus diperhatikan.
Selanjutnya dikembangkan oleh Bronkhorst yaitu : memperbaharui tatanan sosial baru; membuat suatu propaganda yang mengatakan bahwa salah untuk menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan sangat berkuasa dengan tujuan untuk menghindari proses balas dendam dikarenakan pihak-pihak yang dulunya berkuasa dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan mereka kembali. Sumber daya yang ada pada penguasa yang lama adalah sangat diperlukan untuk proses rekonstruksi sebuah negara; dan melakukan pembersihan pada setiap lini pemerintahan.
Dalam Paradigma Baru ada yang disebut sebagai kelompok reformis yang menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik tetapi tidak lagi untuk mendominasi kursi pemerintahan. Pada kenyataan yang ada, pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil.
Menurut Harold Crouch, ada 5 (lima) langkah yang perlu ditempuh untuk mengubah paradigma TNI-POLRI tersebut, yaitu :
-     Mengurangi peran TNI-POLRI di dalam pemerintahan;
-     Penghapusan kekaryaan;
-     Menetralisasi politik;
-     Pemisahan POLRI dari TNI; dan
-     Orientasi pertahanan.
Dengan adanya langkah yang ditempuh oleh TNI-POLRI di Indonesia tersebut, tampak bahwa kepemimpinan TNI-POLRI yang baru telah menunjukkan dukungan terhadap demokratisasi dan secara berkala merujuk pada “supremasi sipil” suatu terminologi yang selalu dihindari oleh kelompok militer masa lalu.




2.   HAM ( HAK AZASI MANUSIA) DALAM TRANSISI POLITIK
A.   Kasus Pembunuhan Steven Biko Di Afrika Selatan
Steven Biko adalah seorang pemimpin gerakan kulit hitam yang kharismatik, ia ditangkap di pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan di dalam pos tersebut dan meninggal ditempat sekitar 1 (satu) bulan dari waktu penahanannya. Meninggal dengan mulut berbusa dan penuh luka bekas pukulan.  Dua puluh tahun kemudian, para polisi yang berada pada pos tempat Steven Biko dianiaya meminta pengampunan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, namun hal tersebut hanya bisa dikabulkan apabila mereka menceritakan segala tindakan mereka kepada Steven. Konstitusi Transisi Afrika Selatan mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan segala aspek yang akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan maka tidak akan ada habisnya.

B.   Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi
Kemudian, istri dari Steven Biko adalah Ntsiki Biko mengajukan tuntutan kepada pelaku yang menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku tersebut melakukan pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan, Ntsiki Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan mendalilkan bahwa kewenangan komisi untuk memberikan amnesti, bahkan juga bila diberlakukan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven Biko dikarenakan para pembunuh belum memberikan kesaksian dengan jujur dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.

C.   Perspektif Hukum Internasional
Pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, pemberian amnesti kepada pembunuh Steven Biko merupakan inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga dengan negara-negara domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti karena sudah memiliki hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk pembalasan dendam. Masyarakat internasional dapat dengan sendirinya menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip “inward looking” versus kelompok yang mengutamakan prinsip “outward looking”. Outward looking adalah semua ketentuan dan badan internasional bersifat mengikat (binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward looking adalah keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep kedaulatan negara. 

3.     PENGALAMAN BEBERAPA NEGARA DALAM TRANSISI POLITIK
A.   Negara Amerika Latin
Menurut O’Donnell ada beberapa karakteristik transisi politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan, antara lain : heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika Latin dari pada Eropa Selatan;  memenuhi kategori otoriterisme birokratis; dan memiliki unsur-unsur patrimonialis. Contoh negara otoriter birokratis dan otoriter tradisional, yaitu :
-    Di Nikaragua yang dikuasai oleh rezim Somoza adalah termasuk salah satu negara yang memenuhi kategori ini;
Contoh negara otoriter “populis” adalah Peru. 

B.   Non – Amerika Latin
-    Di Yunani, pada tanggal 21 April 1967 suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana menteri George Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara sementara dengan dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan mengembalikan Yunani ke arah demokrasi;
-    Di Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, pada tahun 1980-an, rezim totaliter di Spanyol tersebut diganti dengan rezim yang demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

II.    KEADILAN TRANSISIONAL
A.   Memutus Masa Lalu, dan Mencari Jalan Baru
Masyarakat demokrasi yang baru berusaha untuk memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun. Ada timbul pertanyaan apakah masyarakat menghukum penguasanya yang lama atau membiarkannya. Namun, biasanya beberapa bangsa hanya menutup mata terhadap masa lalunya yang kacau.
Menurut Bronkhorst, ada yang perlu dibahas dalam konteks keadilan pada masa transisi yaitu :
-          Kebenaran;
-          Rekonsiliasi; dan
-          Keadilan.
Meskipun demikian peran keadilan lebih banyak menimbulkan perdebatan dari pada kebenaran dan rekonsiliasi. Komisi-komisi pada sekitar 40 (empat puluh) negara yang dibentuk untuk menuntaskan masalah masa lalu yang otoriter menunjukkan bahwa pentingnya konsepsi keadilan transisional.

B.   Politik Memori
Menurut Ruti G. Teitel, jika suatu negara yang otoriter sudah berubah ke arah demokrasi maka permasalahannya sekarang adalah bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa lampau karena berkaitan dengan masa depan negara, antara lain :
-     Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
-     Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif?
-     Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?
-     Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?


2.     KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI
A.   Permasalahan
Permasalahan internasionalisasi pada waktu transisi, antara lain :
-     Membersihkan suatu kelompok besar dari para mantan pejabat komunis dan kolaboratornya; dan
-     Menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili.

B.   Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif
Konsep penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional berguna untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku surut).

C.   Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda
Menurut Lawrence Weschler dalam bukunya yang membahas mengenai penyelesaian masalah dengan para penyiksa adalah secara retrospektive, penyiaran kebenaran sampai kepada tahap tertentu untuk menebus penderitaan korban bekas suatu rezim. Sedikitnya, sampai pada batas tertentu ini adalah untuk menjawab dan menghargai para korban tersebut, yang merupakan pembuktian terbalik bagi para penyiksa yang berpura-pura untuk menuntut sesuatu. Secara prospektif, penyiaran kebenaran menggunakan banyak cara yang halus dalam hal menuntut para pelaku kejahatan kemanusiaan. Untuk hal tersebut adalah struktur pokok dari penyiksaan bahwa itu terjadi secara rahasia, di dalam kegelapan, merupakan ganjaran untuk membuat perhitungan dengan membuat malu para pelaku para penyiksa tersebut perlu diperlakukan seperti itu dan dengan tidak seorangpun akan pernah tahu; jika tidak seluruh pernyataan yang mendasari penalaran memberikan kontribusi miliknya akan dengan cepat masuk ke dalam pertanyaan.  

D.   UU Lustrasi Cekoslovakia
Proses transisi di negara ini menggunakan sistem Uni Soviet juga. Namun, perekonomian ambruk lalu program ekonomi yang barupun didiskusikan. Lalu pada Januari 1968 terjadilah reformasi demokrasi dan ekonomi tapi usaha tersebut sia-sia dikarenakan Cekoslovakia kembali diduduki oleh rezim komunis yaitu Uni Soviet, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, dan Bulgaria yang menginvasi mereka. Paham komunis kembali diberlakukan di negara tersebut.
Hal tersebut mengakibatkan munculnya pemerintahan baru yang dengan cepat melawan warisan-warisan ketidakadilan dari rezim komunis. Pada tanggal 4 Oktober 1991 diberlakukanlah Law on Lustration. Yang bertujuan untuk mengungkapkan kasus 100,000 (seratus ribu) tahanan politik yang diidentifikasikan komunis dan memberikan amnesti kepada 200,000 (dua ratus ribu) orang lainnya.
Law on Lustration selanjutnya di review kembali di Mahkamah Konstitusi Cekoslovakia atas kritikan dari ILO (International Labor Organization) karena telah melanggar undang-undang tersebut.
Dalam hal lustrasi ini Uhde menyatakan bahwa tingkat pelanggaran dan kejahatan yang telah dilakukan melawan hak, hak azasi manusia, dan kebidupan menjadi lebih tinggi dari pada beberapa hukum yang akan menyelesaikannya. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita seharusnya memesan pada pencarian kehidupan untuk definisi dan keadilan yang absolut.
  
E.   Akibat Signifikan Skenario Pasca Komunis
Empat skenario pascakomunis, antara lain :
-    Suatu negara pascakomunis secara gradual bertransformasi menjadi suatu negara yang demokrasi pluralis stabil;
-     Dari suatu sistem otoritarian, menurut Holmes beberapa peneliti menghasilkan suatu gradasi yang baik dari hal ini, dan dapat diargumentasikan bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi – dengan asumsi adanya kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama, meskipun tidak terdapat sinyal-sinyal yang meyakinkan tentang kemungkina terjadinya hal ini padasaat ini – dalam konteks komunis;
-    Secara essential tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah; dan
-    Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat diprediksi.

3.     KEADILAN DALAM MASA TRANSISI POLITIK
A.   Kelompok Realis vs Kelompok Idealis
Keadilan transisional adalah keadilan yang diasosiasikan dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Transisi mengimplikasikan pergeseran-pergeseran paradigma dalam kosepsi keadilan; karenanya, fungsi hukum menjadi secara mendalam dan secara inheren berlawanan azas (paradoxical).

B.   Hukum Sebagai Produk dari Perubahan Politik
Suatu negara apabila kondisi politiknya berubah maka hukumnya akan berubah juga. Jadi hukum adalah suatu alat untuk melegitimasi kekuasaan. Berbagai kepentingan menjadi satu dan kepentingan nasionallah yang ada pada suatu hukum.

C.   Tergantung pada Hubungan Antara Hukum dan Politik
Dalam penyusunan teori liberal, yang dominan dalam hukum internasional dan politik, hukum pada umumnya dipahami sebagai mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebagaimana kelompok realis menekankan pada kaitan yang erat antara hubungan hukum dan politik. Dapat disimpulkan bahwa ada intervensi antara politik terhadap hukum. Dalam realitanya, hukum tidak steril dalam pembentukannya. Politik sering berperan dalam pembuatan dan pelaksanaannya.

4.     DILEMA PENERAPAN ATURAN HUKUM
A.   Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan
Pada masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan pada rezim yang menggantikan. Pertanyaan yang muncul adalah dalam hal apa yang membawa rezim masa lalu ke pengadilan.
Dalam periode ini, mahkamah-mahkamah konstitusi (constitutional courts) yang baru didirikan telah memikul beban institusional yaitu bagaimana menetapkan suatu sistem hukum yang rule of law.

B.   Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para  Mantan Kolaborator Nazi
Di Jerman ada 2 (dua) ahli hukum yang saling bertolak belakang dalam hal penghukuman terhadap para mantan kolaborator Nazi, yaitu : Hart dan Fueller. Hart menganut aliran positivisme hukum yang menyatakan bahwa seluruh hukum yang masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada ketentuan-ketentuan hukum baru, jadi walaupun tidak bermoral tetap harus dijalankan. Sedangkan menurut Fueller peraturan yang menghukum para Nazi tersebut adalah hukum yang baru dibuat berdasarkan demokrasi karena putusnya hubungan dengan rezim otoriter maka putus pula hubungan hukum nazi tersebut. Penyelesaian masalahnya, akhirnya pemerintahan Jerman memakai cara Fueller untuk menghukum para kolaborator Nazi tersebut.









T A N G G A P A N
 
Di Indonesia, pembahasan dan studi mendalam oleh anak bangsa mengenai HAM mulai gencar dilakukan pada post-orde baru. Studi mengenai HAM itu sendiripun masih sangat terbatas aksesbilitasnya. Tidak semua kaum akademisi di Indonesia mempunyai akses yang memadai dalam meraih informasi mengenai HAM, baik itu dari segi teori ataupun sejarah dan pelaksanaan/pelanggaran HAM di Indonesia. Itu karena departemen pendidikan atau institusi-institusi pendidikan yang berwenang tidak (belum) memasukkan kurikulum Hak Asasi Manusia kedalam mata pelajaran/kuliah pokok.
HAM sendiri juga mengalami masa transisi yang tidak mudah dalam kaitannya dengan penegakkan HAM di Indonesia. Masyarakat kita yang terbiasa dengan perlakuan represif aparat pada masa orde-baru, memandang bahwa HAM itu tidak ada. Secara tidak sadar, masyarakat telah terpengaruh terhadap mindset semacam ini sehingga HAM dipandang sebagai sebuah hal kurang atau bahkan tidak penting. Parahnya, mindset semacam itu masih banyak tertanam kuat dalam pola pikir kaum akademisi dan juga aparat Negara (termasuk polisi dan TNI). Anggapan bahwa HAM tidaklah penting dalam kehidupan bernegara tentu saja berpotensi menciptakan pelanggaran-pelanggaran HAM yang mana hal itu mencederai prinsip hidup berdemokrasi yang sangat menjunjung tinggi HAM.
Adanya benturan antara unsur-unsur dalam prinsip HAM tersebut dengan nilai-nilai keagamaan. Dengan fakta bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang masih sangat terpengaruh oleh nilai-nilai dan ajaran agama, perbedaan suatu ajaran sekular dengan ajaran agama yang dianutnya akan menggiring masyarakat untuk berperilaku antipasti terhadap ajaran sekular tersebut. Contoh mudahnya adalah pada kasus hukuman mati. Pada ajaran HAM, hukuman mati adalah suatu hal yang dilarang karena setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. Namun dalam ajaran agama, hukuman mati adalah layak dilakukan bagi mereka yang telah melakukan kesalahan tersebut.
Perbedaan perspektif antara ajaran agama dengan ajaran HAM menimbulkan prasangka bahwa HAM adalah agenda asing untuk menguasai Indonesia. Contoh nyata dari prasangka ini adalah serangan LPI (Laskar Pembela Islam) kantor Komnas HAM. Serangan ini dilakukan dengan alasan bahwa Komnas HAM bertindak tidak adil dalam masalah antara Islam – Kristen di wilayah-wilayah konflik seperti Poso, yang mana komnas HAM dianggap membela umat Kristen.
Stigma negatif yang muncul dari kelompok-kelompok keagamaan terhadap ajaran HAM tentu saja menghambat penegakkan HAM itu sendiri, apalagi jika kelompok agama ini adalah merupakan agama mayoritas di Indonesia. Sikap antipati ini cenderung subjektif, sehingga apapun yang tertuang dalam ajaran HAM dianggap sebagai ajaran pihak asing yang berniat merusak Indonesia tidak perduli apakah ajaran tersebut pada hakikatnya baik atau tidak bagi dirinya atau kelompoknya.
Selain sikap bermusuhan terhadap ajaran HAM yang tertuang secara eksplisit oleh kelompok agama tertentu, aparatur Negara pun juga ternyata kurang memperhatikan penegakkan HAM itu sendiri. Kepolisian dan Angkatan bersenjata Indonesia pun dirasa masih sangat kurang dalam menegakkan HAM. Pihak keamanan seringkali terkesan melakukan pembiaran pelanggaran HAM dan bahkan memberikan perlindungan terhadap orang-orang atau kelompok yang melakukan pelanggaran HAM.
Nihilnya kesadaran aparat Negara terhadap HAM membuat aparat itu sendiri menjadi pelaku pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Papua.Pemerintahpun terkesan tinggal diam dengan fenomena tersebut diatas. Pendidikan yang jelas dan formal mengenai HAM pun tetap tidak ada hingga hari ini walaupun pelanggaran HAM sudah terjadi dimana-mana. Sejauh ini, pendidikan HAM hanya diberikan oleh LSM Asing atau institusi pendidikan asing kepada anak negeri ini. Bahkan banyak aktivis-aktivis HAM yang “terpaksa” belajar HAM sendiri lewat buku-buku import atau e-book/jurnal asing yang beredar di Internet. Hal ini tidak lain karena sulitnya mencari buku referensi atau buku teks lokal mengenai HAM. Dengan kondisi seperti itu, yang tampaknya tidak akan ada perubahan untuk tahun-tahun kedepan, sulit rasanya mengharapkan penegakkan HAM yang merata bagi rakyat Indonesia.
Walaupun penuh dengan berbagai tantangan yang disebutkan diatas, perkembangan HAM di Indonesia juga memperlihatkan perkembangan. Dengan semakin terbukanya arus informasi, yang salah satunya adalah akses internet yang semakin luas, maka masuknya informasi mengenai HAM dan segala perangkat yang melengkapinya semakin mudah untuk diakses dan disebarluaskan. Selain itu, masuknya dan berdirinya berbagai LSM yang berkonsentrasi pada penegakkan dan pendidikan HAM juga semakin menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM. Gerakan-gerakan pemuda (Youth movement) pun sudah banyak yang sudah membicarakan berbagai isu kontemporer, termasuk di dalamnya adalah isu HAM. Kaum-kaum akademisi Indonesia, terutama yang mendalami bidang humaniora, sudah sedikit banyak menularkan pemahaman mengenai HAM melalui kuliah-kuliah umum, buku ataupun sekedar tulisan ringan di blog/website. Beberapa kelompok agama juga sudah mulai menunjukkan kecenderungan untuk memahami dan mempelajari HAM, yang mana hal ini sangatlah berarti dalam rangka penyebaran pemahaman HAM kepada masyarakat relijius.
Masa transisional dari era kediktatoran yang penuh dengan reduksi HAM menuju ke era demokratis yang mengutamakan penegakkan HAM memang bukanlah masa yang mudah untuk dijalani, terutama bagi kelompok penegak HAM yang (masih) merupakan kaum termarginalkan di negeri ini. Penegakkan HAM di negeri ini dirasakan akan sangat sulit untuk terwujud tanpa adanya pendidikan HAM yang merata bagi seluruh peserta didik. Namun walaupun demikian, penegakkan HAM adalah suatu hal yang sangat penting selain system demokrasi itu sendiri karena demokrasi dan HAM adalah dua variable yang saling menunjang.
Pemerintah sudah saatnya memberikan perhatian khusus dalam proses penegakkan HAM di Indonesia dalam rangka untuk mematangkan proses demokratisasi di Indonesia. Dimulai dari pendidikan HAM di tingkat sekolah dan kampus yang kemudian berkembang menuju pendidikan HAM di tingkat aparat keamanan seperti Polisi, TNI dan satpol PP. Kemudian pemerintah mulai mengambil langkah serius untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM lama seperti lenyapnya aktivis-aktivis reformasi 1998 dan kematian Munir. Pemerintah, juga mulai dapat melakukan pendekatan berbasis pada HAM alih-alih pendekatan yang berbasis pada kekuatan militer (koersif) kepada daerah-daerah yang sedang dilanda gerakan separatisme.
Keruntuhan rejim otoritarian di Indonesia banyak disebut sebagai masa transisi. Pada masa ini demokrasi dan penegakan HAM belum bisa dilakukan sepenuhnya karena struktur lama masih belum hilang sama sekali. Agenda reformasi belum sepenuhnya dijalankan. KKN masih menyeruak tanpa malu-malu. Tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM berat masa lalu semakin menguat, namun jalan bagi penyelesaian pelanggaran HAM banyak menemui kesulitan. Proses hukum yang seharusnya menjadi tumpuan belum bisa berfungsi secara optimal karena struktur dan tatanannya belum berubah. Pada masa transisi ini HAM lebih banyak diasosiasikan dengan pelanggaran HAM berat dan hak sipil politik. Hal ini menunjukkan pemahaman HAM yang parsial sehingga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya banyak kebijakan ekonomi, sosial, dan budaya yang tidak memihak pada rakyat.
Saat ini kita sudah berada di penghujung masa transisi. Kekuatan-kekuatan otoritarian (militerisme dan pola orde baru) semakin giat melakukan konsolidasi politik. Hal ini diimbangi dengan komitmen yang tidak jelas dari pemerintahan terhadap penegakan dan perlindungan HAM. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kebijakan perlindungan dan penegakan HAM lebih banyak menjadi komoditi politik diiringi dengan masih digunakannya kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan.
Momentum perlindungan dan penegakan HAM telah memiliki landasan hukum yang kuat. Masa depan perlindungan dan penegakan HAM ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu; penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, pemahaman terhadap wawasan HAM mutakhir, dan komitmen pemimpin nasional mendatang. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, baik melalui pengadilan HAM ad hoc maupun KKR, adalah syarat untuk bisa melangkah ke depan dengan belajar dari kesalahan masa lalu untuk tidak terulang lagi. Dengan mengetahui pola umum kekerasan dan pelanggaran HAM, kita bisa merumuskan kebijakan yang mampu mencegah pelanggaran HAM di masa yang akan datang.
Jika penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak bisa dilakukan, maka kemungkinan kesalahan yang sama akan terulang. Kita tidak mampu membuat kebijakan yang antisipatif terhadap pelanggaran HAM dan perlindungan HAM. Pelaku pelanggaran HAM juga merasa terbebas dari hukuman sehingga dapat dengan mudah melakukan hal yang sama di masa depan.Pemahaman terhadap wawasan HAM menyeluruh yang tidak hanya terfokus pada hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya sangat diperlukan demi tercapainya perlindungan dan penegakan HAM.
Kediktatoran tidak hanya terwujud dalam rejim junta militer atau kerajaan. Kediktatoran juga dapat berbentuk pemerintahan dengan legitimasi demokrasi namun dalam pengambilan keputusan tidak memihak dan tidak melibatkan masyarakat secara aspiratif. Di masa depan, pembuatan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti tentang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya air, dan privatisasi, harus dilakukan dengan orientasi utama untuk perlindungan dan penegakan HAM.
Komitmen pemimpin nasional merupakan syarat mutlak bagi perlindungan dan penegakan HAM. Perlindungan dan Penegakan HAM bukan hanya kerja Komnas HAM. Kurangnya komitment pemimpin nasional terhadap perlindungan dan penegakan HAM membuat terhentinya kasus-kasus pelanggaran HAM di kejaksaan, lambatnya pembuatan perangkat hukum HAM maupun upaya ratifikasi perjanjian internasional, dan kebijakan pemerintahan. Komitmen yang lemah juga mengakibatkan kebijakan ekonomi, sosial dan budaya tidak berpihak pada masyarakat.
Demi tercapainya dan terwujudnya cita-cita nasional, adalah keharusan bagi bangsa ini untuk mulai memadukan langkah, belajar dari masa lalu, menyusun, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan penegakan HAM, baik Hak Sipil-Politik maupun Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.



DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.