#hukum_indah


“... Studies of Law is not always could be in theory ...
because the Law is essentially the logic ....
And the law isn't a rote course only ....

Translate

August 17, 2015

#hukum_indah : "Menyita Barang Yang Ada di Luar Negeri".. Mungkinkah..?

Pernahkah berpikir untuk menyita Barang yang ada di luar negeri? Biasanya ini terjadi ketika ada tindakan wanprestasi,atau cidera janji dan orang yang ingkar janji tersebut kabur ke luar negeri beserta barangnya... hehehe (semoga tidak pernah kejadian ya).. Di Bawah ini sedikit ulasan apabila hal tersebut menimpa kita :
Sumber: Hukumonline, UU terkait

Peradilan Indonesia tidak dapat melakukan eksekusi terhadap benda yang berada di luar negeri. Namun apabila si pemohon tetap ingin melakukan eksekusi terhadap barang yang berada di luar negeri tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ialah mengajukan gugatan di pengadilan negara tempat dimana barang tersebut berada. Penjelasan lebih lanjut, dapat dibaca dalam ulasan berikut ini.




Ulasan:
 


Jon Warif Sitorus (Founder #hukum_indah)

Menurut Kamus Hukum yang disusun oleh Drs. M. Marwan, S.H. danJimmy P. S.H., yang dimaksud dengan Sita adalah:
 
Penyitaan atas harta kekayaan milik seseorang, baik barang bergerak atau barang tak bergerak untuk menjamin hak-hak si penggugat dalam perkara perdata, atau atas barang-barang untuk mendapatkan bukti dalam perkara pidana; Jaminan barang di bawah kuasa pengadilan sampai proses perkara selesai”.
 
Permasalahan sita dalam perkara perdata jelas berhubungan dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (eksekusi). Maka berdasarkan hal tersebut, dasar hukum pelaksanaan eksekusi dalam sistem hukum di Indonesia mengacu pada ketentuan dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) dan Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura (“RBG”). Sementara ruang lingkup HIR hanya berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan RBG berlaku di luar Jawa dan Madura.
 
Namun, dalam beberapa hal, ketentuan dalam HIR dan RBG tidak mengatur secara keseluruhan sistem hukum acara perdata di Indonesia, sehingga sering kali juga harus menggunakan ketentuan dalam Reglement Op De Rechtsvordering (“RV”). Berkenaan dengan pertanyaan Anda mengenai sita terhadap benda yang berada di luar negeri, dalam HIR dan RBG sama sekali tidak satupun pasal yang mengatur hal tersebut. Sehingga harus mengacu pada ketentuan RV. Dalam ketentuan Pasal 431 RV, sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata” (hal. 356), dijelaskan sebagai berikut:
 
Menurut asas peradilan Indonesia, putusan pengadilan yang dijatuhkan pengadilan Indonesia sebagaimana yang digariskanPasal 431 RV:
·         Hanya berlaku dan berdaya eksekusi di wilayah Indonesia;
·         Oleh Karena itu, tidak mempunyai daya eksekusi di luar negeri;
·         Begitu juga sebaliknya, putusan hakim pengadilan asing tidak mengikat dan tidak diakui di Indonesia.”
 
Maka berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peradilan Indonesia tidak dapat melakukan eksekusi terhadap benda yang berada di luar negeri. Namun apabila si pemohon tetap ingin melakukan eksekusi terhadap barang yang berada di luar negeri tersebut, mengacu pada pendapat M. Yahya Harahap, S.H., yang menyatakan satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ialah mengajukan gugatan di pengadilan negara tempat dimana barang tersebut berada.
 
Demikian, jawaban yang dapat kami sampaikan. Kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda untuk mengambil langkah hukum selanjutnya.
 
Dasar Hukum:
Reglement Op De Rechtsvordering.
 
Sumber:
M. Yahya Hrahap, S.H. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Sinar Grafika. 2005.

Hubungan "Tukang Ojek" dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek



Sumber : Hukumonline, UU terkait.

Jon Warif Sitorus (founder #hukum_indah)

Masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di Jakarta memang tak asing dengan fenomena maraknya ojek yang layanannya berbasis aplikasi seluler ini. Hampir di seluruh penjuru kota ini dapat ditemui pengendara ojek yang lewat silih berganti membonceng penumpangnya. Apalagi di daerah padat lalu lintas seperti bilangan Sudirman dan Kuningan. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan juga sempat melontar wacana membuat regulasi untuk mengatur keberadaan bisnis ini.
 
Pertumbuhan bisnis ojek berbasis online ini diikuti dengan makin meningkatnya animo masyarakat, terbukti dari terus bertambahnya jumlah pengunduh aplikasi tersebut. Ramai pemberitaan yang mengangkat cerita pengojek online dari sisi ekonomi membuat masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi pengojek.
 
Masyarakat awam ada yang menganggap bahwa para pengojek itu mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan penyedia aplikasi. Alasannya beragam. Mulai dari adanya kewajiban pengojek ‘menjaminkan’ surat berharga seperti ijazah saat awal mendaftar hingga masalah upah atau asuransi yang diberikan kepada para pengojek.
 
Pandangan seperti itu tidak seluruhnya salah. Karena pada praktiknya banyak pekerja yang memang diminta perusahaan untuk menitipkan ijazahnya sebelum memulai bekerja. Apalagi soal asuransi dan upah yang lazim dan semestinya diberikan kepada pekerja.
 
Tapi bicara dari sisi hukum, untuk melihat ada tidaknya hubungan kerja, tidak hanya bisa dilihat dari ada tidaknya kewajiban penitipan ijazah, upah dan asuransi seperti di atas.
 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebenarnya sudah memberi rambu-rambu untuk melihat ada tidaknya suatu hubungan kerja. Menentukan ada tidaknya hubungan kerja ini penting agar kita bisa melihat apakah ada hubungan ‘pekerja dan pengusaha’ di sana. Kalau tidak ada hubungan kerja, berarti tidak ada istilah pekerja dan pengusaha. Yang ada hanyalah mitra.
 
Unsur hubungan kerja
UU Ketenagakerjaan mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[1] Dari pengertian itu terlihat tiga unsur hubungan kerja, yaitu pekerjaanupah danperintah. Sayang, bagian Penjelasan UU Ketenagakerjaan tidak menjelaskan lebih jauh dan detil dari unsur-unsur hubungan kerja tersebut.
 
Tidak adanya penjelasan lebih jauh mengenai unsur-unsur hubungan kerja tersebut membuat setiap pihak memiliki penafsirannya masing-masing. Ini misalnya terlihat dalam kasus antara puluhan sopir dan sebuah perusahaan di bidang transportasi angkutan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.[2]
 
Pada kasus itu, para sopir berdalih memiliki hubungan kerja karena unsur-unsurnya terpenuhi. Adanya pekerjaan berupa mengemudikan truk dan container ke tujuan yang telah ditunjuk perusahaan, upah berupa gaji pokok setiap bulan dan perintah berupa kewajiban untuk mengantar barang sampai tujuan. Sementara perusahaan berpendapat sebaliknya. Tidak ada pekerjaan karena pekerjaan digantungkan pada order pengiriman dari customer perusahaan, tidak ada upah karena pendapatan sopir dihitung dengan komisi dan diterima setelah selesai mengirim barang dan tidak ada perintah karena yang memerintah adalah customer/pengguna jasa pengiriman.
 
Oleh karena peraturan di bidang ketenagakerjaan tidak menjelaskan lebih lanjut unsur hubungan kerja, maka penting untuk melihat bagaimana pandangan pengadilan terhadap ketiga unsur tersebut.
 
Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt.Sus/2009 dalam perkara antara sopir taksi dan perusahaan taksi misalnya. Dalam perkara itu  MA menyatakan tidak ada unsur upah karena para sopir taksi hanya menerima komisi/persentase. Selain itu, tidak ada unsur perintahkarena sopir taksi diberi kebebasan mencari penumpangnya sendiri.
 
Sebaliknya, pada putusan Mahkamah Agung Nomor 276 K/Pdt.Sus/2013 dalam perkara antara perusahaan di bidang logistik dan sopir. Dalam perkara itu MA mengamini putusan tingkat sebelumnya yang menyatakan ada hubungan kerja antara perusahaan dan sopir tersebut. Alasannya adalah adanya unsur pekerjaan karena sopir hanya mengangkut muatan yang disediakan perusahaan. Bukan disediakan/dicari sendiri oleh sopir.
 
Dari dua putusan Mahkamah Agung di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur hubungan kerja sebagai berikut:
  1.  Pekerjaan: unsur ini terpenuhi jika pekerja hanya melaksanakan pekerjaan yang sudah diberikan perusahaan.  
  2. Upah: unsur ini terpenuhi jika pekerja menerima kompensasi berupa uang tertentu yang besar jumlahnya tetap dalam periode tertentu. Bukan berdasarkan komisi/persentase.
  3. Perintah: unsur ini terpenuhi jika pemberi perintah kerja adalah perusahaan. Bukan atas inisiatif pekerja.
 
Lalu bagaimana dengan fenomena ojek online? Berdasarkan pemberitaan media, para pengemudi ojek ini tidak mendapatkan gaji dari perusahaan aplikasi. Justru para pengojek harus membagi 10 hingga 20 persen pendapatannya ke perusahaan. Berapa pendapatan pengojek tergantung seberapa banyak penumpang yang bisa ia antar. Perintah mengantar penumpang juga tidak datang dari perusahaan, melainkan dari penumpang dan tentu atas kesediaan pengojek. Dalam kondisi itu terlihat tidak ada unsur hubungan kerja pada relasi pengojek dan perusahaan penyedia aplikasi.
 
Dengan demikian maka disimpulkan tidak ada hubungan kerja antara pengojek dan perusahaan aplikasi. Oleh karena tidak ada hubungan kerja, maka pengojek tidak berhak menuntut hak-hak yang biasa diterima pekerja pada umumnya seperti upah lembur, jamsostek maupun pesangon jika hubungan kerjasama mereka berakhir.
 
Demikian jawaban kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
1.    Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Editor: Guus Heerma van Voss & Surya Tjandra, Penerbit Pustaka Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan Universitas Groningen, 2012
2.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 841 K/Pdt.Sus/2009
3.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 276 K/Pdt.Sus/2013
 
  
 



[1] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan.
[2] Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Editor: Guus Heerma van Voss & Surya Tjandra, Penerbit Pustaka Larasan bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden dan Universitas Groningen, 2012.